facebook instagram
Powered by Blogger.
  • Home
  • Tradisi
  • Produk
    • Kopi
      • Robusta
      • Arabika
    • Gula Aren
    • Gulo Ampas
    • Produk Lain
  • Burung Jatimulyo
  • Program
    • Adopsi Sarang Burung
    • Dana Riset dan Konservasi
  • Tentang Kami
    • Cerita Kami
    • Team

Kopi Sulingan

Kopi dan Konservasi Burung





Penulis: Sidiq Harjanto

Artikel ini disusun dalam rangka refleksi 10 tahun Kopi Sulingan, sekaligus 10 tahun kontribusi kecil kami dalam pengembangan Desa Ramah Burung Jatimulyo.


Foto: Kelik Suparno

Pada penghujung tahun 1968, sebuah artikel fenomenal karya Garrett Hardin terbit. Judulnya “The tragedy of the commons”. Artikel ini telah banyak membuka perspektif baru tentang pengelolaan sumber daya alam. Yang dimaksud commons oleh Hardin adalah sumber daya "tak bertuan" yang bisa diakses oleh siapa saja. Pertumbuhan populasi yang eksponensial dengan sumber daya yang terbatas menjadi dasar pemikirannya.

Untuk menyederhanakan penjelasan tentang commons, Hardin menggunakan metafora padang rumput penggembalaan. Pada sebuah padang penggembalaan, setiap penggembala atas dasar pemikiran rasional untuk mendapatkan keuntungan pribadi, berupaya untuk menambah sebanyak mungkin hewan ternaknya. Semua penggembala melakukan hal yang sama sehingga yang terjadi adalah kerusakan masif pada padang penggembalaan itu sendiri. Kerusakan masif sumber daya bersama inilah yang dimaksud dengan tragedi. Di kehidupan terdekat kita, commons bisa berupa mata air, sungai, hutan, dll. 

Dua dekade kemudian, tepatnya tahun 1990, sebuah buku berjudul "Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action" diterbitkan. Orang di balik buku ini adalah Elinor Ostrom, seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat dan pemenang Nobel di bidang ekonomi. Buku ini sering dianggap sebagai bantahan atas argumen Hardin, terutama pada usulannya mengenai pengelolaan commons yang terdiri dari dua alternatif yaitu pengaturan oleh negara atau privatisasi (kepemilikan pribadi). Menurut Ostrom, ada alternatif lain yang lebih efektif yaitu pengaturan bersama oleh masyarakat atau aksi kolektif.

Ostrom membangun argumen dari penelitian empirisnya mengenai keberhasilan berbagai komunitas masyarakat dalam pengelolaan commons dari berbagai negara. Jika Hardin berasumsi bahwa commons adalah open access resources yang benar-benar tak bertuan, memang dapat diasumsikan siapa saja bisa mengaksesnya. Dengan asumsi ini, tragedy of the commons menjadi keniscayaan. Sebagai solusi atas masalah itu, Ostrom mengusulkan konsep pengelolaan common-pool resources (CPRs) di mana sumber daya dimiliki dan dikelola bersama.

Desa Ramah Burung: Dari Jatimulyo untuk Indonesia

Inisiatif masyarakat di Jatimulyo dalam pelestarian burung menggunakan konsep Desa Ramah Burung dianggap cukup sukses melestarikan burung ditingkat lokal. Desa Ramah Burung menjadi sebuah pendekatan untuk mempertahankan kelestarian burung di tingkat desa. Di dalamnya ada aturan atau kesepakatan masyarakat, beserta skema pemanfaatan yang lestari. Melalui proses yang panjang, konsep ini efektif menekan eksploitasi biodiversitas, khususnya burung di desa Jatimulyo sebagai inisiatornya. KTH Wanapaksi sebagai motor penggeraknya bahkan telah diganjar penghargaan Kalpataru atas prestasi tersebut.

Semua orang tentu familiar dengan burung. Di mana-mana kita bisa menjumpainya. Di hutan, di sawah, di pantai, hingga di permukiman burung bisa dijumpai. Burung adalah kelompok binatang bertulang belakang yang ciri utamanya adalah tubuhnya dilengkapi bulu dan sayap. Dalam taksonomi, mereka termasuk dalam kelas Aves. Jumlah jenisnya kurang lebih 10.000 di seluruh dunia, sedangkan Indonesia sendiri menyumbang sekira 1.800 jenis.

Negara telah mengatur pemanfaatan burung maupun satwa liar lainnya. Berbagai jenis burung statusnya dilindungi, yang artinya tidak boleh ditangkap dan diperdagangkan. Ada pula aturan mengenai kuota penangkapan satwa tidak dilindungi. Namun, aturan-aturan ini masih belum optimal dan masih ditemukan banyak pelanggaran. Untuk efektivitas aturan dalam skala besar, bakal membutuhkan ongkos yang sangat-sangat besar.

Burung-burung dan berbagai spesies satwa liar bisa dikategorikan commons dengan pemahaman yang lebih kompleks. Tidak semua orang memanfaatkan satwa liar secara langsung, misalnya untuk dikonsumsi atau dijual. Namun, perlu diingat bahwa banyak orang diuntungkan dengan keberadaan burung-burung. 

Contoh sederhananya: para petani yang mendapatkan jasa ekologi berupa pengendalian hama dan jasa penyerbukan. Artinya, pengambilan atau penangkapan besar-besaran (yang tak jarang hanya dilakukan oleh segelintir orang) memberikan kerugian secara komunal, dampaknya bisa jauh lebih besar, dan sangat sulit dikalkulasi karena sifatnya sistemik. Oleh karena menyangkut kepentingan banyak orang, pemanfaatan burung maupun satwa liar lainnya perlu diatur bersama.  

Titik balik Jatimulyo sebagai desa ramah burung adalah terbitnya Peraturan Desa No 8 Tahun 2014 yang salah satu isinya adalah perlindungan semua jenis burung di wilayah Desa Jatimulyo. Terbitnya perdes itu menandai berubahnya status burung-burung liar di Jatimulyo dari seolah-olah “open access”  menjadi CPRs seperti konsep Ostrom. Burung yang semula dianggap tidak bertuan, statusnya dipertegas menjadi “dimiliki” dan dikelola oleh desa sebagai sebuah institusi sekaligus sebuah komunitas masyarakat yang fungsional. 

Kesesuian Desa Ramah Burung dengan Prinsip-prinsip Ostrom

Ada delapan prinsip dalam pengelolaan CPRs yang diusulkan Ostrom. Mari kita lihat apakah konsep Desa Ramah Burung ala Jatimulyo relevan dengan prinsip-prinsip tersebut. Pertama, batasan yang jelas. Pada konteks Jatimulyo, batasnya jelas yaitu lingkup desa. Semua warga desa maupun warga luar desa tidak diperkenankan menangkap burung liar yang berada di wilayah Jatimulyo. Kedua, kesesuaian dengan karakter lokal. Warga desa memiliki rasa kepemilikan yang kuat terhadap desa beserta segala sumber daya di dalamnya sehingga aturan ini segera diterima oleh mayoritas anggota masyarakat.

Ketiga, keputusan kolektif. Terbentuknya KTH Wanapaksi sebagai motor penggerak dalam pengembangan konsep Desa Ramah Burung menjadi sebentuk upaya kolektif. Melalui kelompok, penegakan aturan bisa dijalankan. Kelompok melakukan sosialisasi perdes, patroli pengamanan, dan berbagai bentuk kampanye. Di lain sisi, upaya-upaya pemanfaatan burung secara lestari seperti ekowisata dan program adopsi sarang juga bisa disusun bersama.

Keempat, pemantauan yang efektif. Warga desa memiliki kesadaran untuk berpartisipasi menegakkan aturan perdes yang melarang perburuan burung. Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap aturan segera dilaporkan kepada pihak yang berwenang (dalam hal ini Pemerintah Desa atau pihak yang ditunjuk oleh Pemerintah Desa) untuk ditindaklanjuti. 

Kelima, sanksi bertingkat. Di Jatimulyo, pelanggaran terhadap perdes yang melindungi burung dimulai dari peringatan lisan, peringatan tertulis, hingga tindakan hukum. Keenam, resolusi konflik. Harus diakui, telah terjadi beberapa kali pelanggaran terhadap aturan mengenai penangkapan burung. Resolusi yang diambil sejauh ini, melalui peringatan lisan sudah cukup efektif dalam mengurangi angka perburuan di wilayah desa.

Ketujuh, pengorganisasian otonom. Kelompok masyarakat bisa secara mandiri mengelola program-program sebagai partisipasi dalam mendukung Desa Ramah Burung, misalnya program adopsi sarang oleh Wanapaksi hingga penciptaan kreasi tarian burung oleh komunitas seni. Kedelapan, struktur berlapis. Aturan di lingkup desa seperti perdes tentu disesuaikan dengan aturan yang lebih tinggi baik di tingkat daerah maupun aturan dari pusat. Misalnya, pada kasus-kasus yang melibatkan burung-burung yang dilindungi negara, digunakan penegakan hukum melalui hirarki kewenangan yang lebih tinggi karena mengandung unsur pidana.

Masih berkaitan dengan struktur berlapis, gagasan Desa Ramah Burung ini perlu dikembangkan ke skala yang lebih besar, menuju lansekap ramah burung. Hal ini bisa terwujud dengan mendorong desa-desa di sekitar untuk membuat skema yang serupa. Namun, setiap desa perlu diberikan keleluasaan untuk membuat skema mereka sendiri yang kompatibel dengan karakteristik sendiri. Pengaturan pada skala yang lebih besar harus mampu mengakomodir inisiatif-inisiatif pada skala yang lebih kecil.

Pengembangan model kelola CPRs ala Jatimulyo belum final. Capaian-capaian yang disebutkan tadi patut kita apresiasi, tetapi tantangan ke depan juga semakin beragam, sebut saja perubahan iklim hingga disrupsi budaya. Masih terbuka inovasi-inovasi yang bisa semakin memperkuat aksi kolektif masyarakat dalam rangka pengelolaan sumber daya alam. Dengan karakter pengelolaan CPRs yang otonom dan partisipatif, ada ruang untuk pembaruan-pembaruan yang adaptif terhadap berbagai dinamika.

Tak bisa dimungkiri bahwa banyak permasalahan lingkungan hidup bersifat global, seperti perubahan iklim, deforestasi, dan kepunahan massal. Namun, cara-cara penanganannya bisa dimulai dari skala kecil-kecil. Pengelolaan CPRs seperti yang diusulkan Ostrom kiranya efektif pada skala kecil hingga menengah.


Referensi:

Hardin, G. 1968. The tragedy of the commons. Science, New Series, Vol. 162, No. 3859 pp. 1243-1248.

Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action . Cambridge University Press.

Penulis: Sidiq Harjanto


Bagi para pelaku industri kopi ataupun penikmat kopi sejati tentu mengikuti berita mengenai kenaikan harga kopi robusta yang gila-gilaan dalam dua tahun terakhir. Di tingkat petani, untuk kopi asalan saja sudah mencapai Rp. 65.000,-/kg per hari ini. Harga ini bervariasi untuk tiap daerah, ada yang lebih tinggi ataupun sedikit lebih rendah. Padahal, di musim panen tahun kemarin harga per kilogram maksimal mencapai kisaran Rp. 45.000,-. Artinya, ada kenaikan lebih dari 40% hanya dalam waktu satu tahun.

Mengutip dari Nikkei Asia, menggilanya harga robusta dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, cuaca ekstrem berupa peningkatan suhu udara dan kekeringan pada tahun-tahun ini telah membuat produksi kopi dari negara-negara produsen kopi robusta seperti Vietnam dan Indonesia drop. Banyak petani mengalami kegagalan panen, dan sebagian lagi memilih beralih ke komoditas lainnya.

Di sisi lain, permintaan kopi justru meningkat. Secara global, konsumsi kopi masyarakat dunia dalam 10 tahun terakhir meningkat 20%. China, yang pertumbuhan kelas menengahnya sedang tinggi-tingginya, menjadi juara dalam peningkatan permintaan kopi, pada angka 130%. Negara-negara produsen kopi, seperti Vietnam dan Indonesia sendiri, juga mengalami peningkatan ekstrem dalam tingkat konsumsi kopi.

Bloomberg menambahkan bahwa dengan adanya penurunan hasil panen, terjadi intensifikasi konsentrasi pasar. Perlu diketahui, kopi merupakan komoditas yang dihasilkan oleh tak kurang dari 12 juta petani di banyak negara. Namun, Vietnam dan Brazil menguasai lebih dari setengah ekspor global kopi.

Risiko di balik peningkatan harga

Melihat fenomena kenaikan ekstrem harga kopi, kita perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, muncul kekhawatiran bahwa kualitas kopi justru akan menurun. Harga tinggi bisa memotivasi petani menjual kopi secepat mungkin karena kekhawatiran ketinggalan momen. Artinya, ada kemungkinan petani memanen kopinya sebelum benar-benar matang. Proses pascapanen tidak lagi menjadi perhatian, mengingat harga kopi asalan saja sudah sangat menggiurkan.

Kedua, ada kemungkinan ekstensifikasi atau perluasan kebun kopi. Petani tentu termotivasi untuk menambah luasan kebun dengan harapan bisa menambah jumlah panenan di masa yang akan datang. Perluasan kebun ini bisa saja mengancam lahan-lahan hutan yang tersisa. Sudah bukan rahasia lagi bahwa perluasan kebun kopi menjadi salah satu ancaman serius bagi kawasan hutan kita.

Bagaimana selanjutnya?

Peningkatan harga menjadi berkah tersendiri bagi para petani kopi di seluruh dunia, termasuk petani kopi dari Indonesia yang umumnya merupakan petani-petani kecil di perdesaan. Dengan harga yang terapresiasi dengan baik, harapannya bisa meningkatkan kesejahteraan para petani. Namun, kita juga jangan sampai terlalu larut dalam euforia.

Kenaikan harga kopi pada dua tahun terakhir jangan lantas menurunkan kualitas kopi yang dihasilkan. Komitmen untuk menjaga kualitas kopi harus dijaga. Kualitas ini dimulai dari pengelolaan kebun yang baik, pemanenan saat buah benar-benar matang, proses pascapanen yang baik, hingga pengemasan dan penyimpanan yang memenuhi standar.

Kita juga harus sadar dan siap dengan koreksi harga yang datang sewaktu-waktu. Ketimbang melakukan ekstensifikasi, akan lebih baik melakukan intensifikasi pada kebun-kebun kita. Model agroforestri yaitu mengombinasi berbagai komoditas dalam satu hamparan menjadi strategi yang ampuh bagi para petani. Dengan demikian ketika terjadi koreksi harga kopi, petani masih punya komoditas lain yang bisa jadi justru harganya sedang naik.

Penulis: Kasidi


Mengawali tahun dengan spesial, Wanapaksi mengirimkan lima orang anggotanya untuk berpartisipasi sebagai peserta Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) XI. Diadakannya PPBI bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi antar pengamat burung se-Indonesia serta dapat menambah wawasan. Acara ini diadakan pada Jum’at – Minggu, 19 – 21 Januari 2024, bertempat di KPH Pekalongan Timur, Kota Pekalongan; dan Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan. Lebih dari seratus orang peserta datang dari berbagai penjuru tanah air.

Hari pertama, kegiatan berlangsung di Kantor Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Pekalongan Timur, Kota Pekalongan dengan dibuka oleh Ketua Panitia PPBI XI Pada pukul 08:30 dan dilanjutkan dengan pematerian. Para pemateri yang tampil di antaranya: Dwi Nugroho Adhiasto dari Yayasan Science For Endangered And Trafficked Species (Scents), Marison Guciano dari Yayasan Terbang Indonesia atau Flight Indonesia Foundation, Bertie Ferns dari Cikananga Conservation Breeding Center, Happy Ferdiansyah dari Pusat Penyelamatan Burung Berkicau Wak Gatak (Yayasan Planet Indonesia), Andri Suhandri mewakili KTH Wanapaksi, dan Mutia Hanifah selaku koordinator pembuatan aplikasi pendataan burung.

Poin penting dalam materi yang diberikan adalah upaya pencegahan dan antisipasi terhadap perdagangan satwa liar yang dilindungi maupun yang belum dilindungi, baik skala nasional maupun skala internasional. Perlunya melakukan pendataan ulang jenis-jenis satwa di daerah masing –masing, serta pentingnya peran serta masyarakat luas sebagai tambahan informasi di lapangan. Setelah selesai acara , peserta berpindah ke Desa Mendolo di Kecamatan Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan untuk beristirahat dilanjutkan menginap di homestay milik warga setempat.

Menikmati durian, salah satu hasil bumi utama Desa Mendolo.

Hari kedua, peserta melanjutkan pengamatan burung dengan membagi beberapa kelompok. Pengamatan dimulai Pukul 08.00 - 12.00 WIB. di area hutan sekitar desa dengan didampingi pemandu lokal. Pengamatan tidak hanya pada burung saja, tetapi pada beberapa flora dan fauna lainnya seperti owa jawa yang saat ini statusnya terancam punah, serta beberapa spesies tumbuh-tumbuhan. Selesai pengamatan, peserta beristirahat sembari menunggu acara di malam hari.

Pada malam harinya, diisi dengan sesi diskusi yang diikuti oleh semua peserta PPBI. Poin penting yang didapat pada sesi ini adalah upaya penyelamatan burung-burung langka di Indonesia melalui relasi dan jaringan-jaringan di Indonesia. Penerbitan kembali buku Atlas Burung Indonesia, dan rencana kegiatan PPBI selanjutnya, alias yang ke-XII.

Bersama kelompok perempuan di Mendolo.

Hari terakhir, anggota KTH Wanapaksi menyempatkan waktu untuk bertemu dengan ibu-ibu penyedia homestay dan konsumsi. Dalam diskusi ini saling bertukar wawasan bagaimana pengelolaan homestay yang baik, pentingnya peran perempuan dalam sebuah kelompok/organisasi, pentingnya pengorganisasian, serta pentingnya pertemuan-pertemuan informal dalam organisasi yang justru dapat memunculkan ide-ide kreatif dan menjadikan organisasi tetap eksis dan semakin berkembang.

Setelah mengikuti rangkaian kegiatan PPBI XI 2024 di Pekalongan, kami merasakan manfaat yang besar, antara lain dapat memperluas wawasan di berbagai aspek dan menambah relasi atau hubungan baik dengan beberapa pihak. Semoga ke depannya kami dapat memperkuat tanggung jawab di dalam melaksanakan upaya konservasi bersama masyarakat.

Atas nama KTH Wanapaksi, saya mengucapkan terima kasih kepada Kopi Sulingan untuk dukungan pembiayaan mengikuti PPBI XI ini.

Penulis: Sidiq Harjanto


Dalam magnum opus-nya, Small is Beautiful (1973), ekonom Ernst Friedrich Schumacher menyebutkan bahwa syarat pembangunan itu ada tiga: pendidikan, organisasi, dan kedisiplinan. Tanpa ketiga unsur ini, semua sumber daya belum dapat dimanfaatkan. Tetap terpendam, tetap merupakan potensi belaka.

Pembangunan itu sendiri mestinya serupa dengan proses evolusi. Sedikit demi sedikit, melalui mutasi-mutasi kecil. Tidak bisa serta merta atau sak dheg sak nyet. Dengan kata lain, pembangunan berikut tiga syarat pendukung tadi tidak bisa "meloncat". Dalam proses pelan ini, semuanya harus terinternalisasi oleh seluruh masyarakat, menjadi milik masyarakat. 

Meskipun kodrat pembangunan itu pelan, sebisa mungkin evolusi itu dipercepat. KTH Wanapaksi telah memberi kontribusi nyata pada percepatan 'evolusi pembangunan' itu. Dalam skala kecil yang unik, katakanlah lingkup desa. Barangkali seperti itu juga yang dibayangkan Schumacher, sesuai tesisnya, "kecil itu indah".

Wanapaksi telah menyediakan ruang belajar bagi masyarakat, menjadi wahana pengorganisiran rakyat, sekaligus melatih kedisiplinan kepada anggota-anggotanya. Tiga syarat dasar telah dipenuhi. Maka yakin saja, Wanapaksi bisa menjadi motor penggerak pembangunan yang sejati. Pembangunan yang seperti apa? Yang berwajah kemanusiaan, yang menempatkan rakyat sebagai subjek, dan tentu saja pembangunan yang bertanggungjawab terhadap alam.

Selamat ulang tahun, KTH Wanapaksi!

Penulis: Pepy Noer Afidah (Sarjana Pendidikan Biologi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

Induk jantan Elang-alap jambul dan dua anakan (Foto: Kelik Suparno)

Burung pemangsa atau yang dikenal dengan raptor merupakan sekelompok pemburu yang tangguh. Mereka memiliki bentuk dan ukuran yang sangat bervariasi. Kekuatan dan keanggunan yang dimiliki dapat memberikan pesona tersendiri bagi penikmat raptor di alam.

Burung pemangsa menjadi top predator pada rantai makanan. Keberadaan mereka sangat penting bagi ekosistem karena dapat menjaga keseimbangan antar-organisme. Apabila keberadaannya di alam terganggu, maka akan terganggu pula rantai makanan dalam ekosistem tersebut.

Elang-alap memiliki kemampuan manuver yang sangat baik karena memiliki ukuran yang lebih kecil dari elang pada umumnya. Selain itu, bentuk sayap yang bulat dan ekor yang panjang juga mempengaruhi kelincahan elang-alap saat terbang di angkasa. Sayangnya, informasi mengenai elang-alap jambul (Accipiter trivirgatus) di Indonesia masih sangat terbatas. Sehingga penelitian ini saya lakukan dengan tujuan menambah informasi mengenai burung elang-alap jambul yang sampai saat ini masih perlu kita jaga kelestariannya.

Elang-alap jambul tidak hanya menarik untuk dilihat, namun juga menarik untuk diamati di habitat aslinya. Sehingga, beberapa waktu lalu, tepatnya pada April-Maret 2023, saya dan teman-teman KTH (Kelompok Tani Hutan) Wanapaksi melakukan pengamatan terhadap perilaku pola asuh induk elang-alap jambul yang sedang dalam masa bersarang.

Lokasi sarang berada di Dusun Banyunganti, Jatimulyo. Selama 2 bulan saya dibuat terkesima dengan perilaku pola asuh yang dilakukan oleh induk elang-alap jambul kepada anak-anaknya.

Deskripsi Morfologi Elang-Alap Jambul (Accipiter trivirgatus)

Elang-alap jambul remaja (Foto: Supangat)

Elang-alap jambul merupakan burung pemangsa dengan ukuran tubuh sedang 30-46 cm. Tubuh yang kokoh dan sayap yang kuat memancarkan ketegasan saat terbang di angkasa. Kombinasi warna bulu yang mencolok dan corak-corak yang rumit merupakan keindahan yang dimiliki oleh elang-alap jambul.

Jantan dewasa memiliki tubuh bagian atas berwarna kelabu, kontras dengan tubuh bagian bawahnya yang berwarna putih, tenggorokan putih dengan garis mesial lebar, dada atas kemerahan dengan garis-garis gelap. Sedangkan pada betina memiliki tubuh bagian atas yang lebih kecoklatan dan dada pucat kemerahan. Ciri khas yang dimiliki oleh elang-alap jambul adalah jambul pendek yang tersamar. 

Distribusi dan Habitat 
Distribusi burung pemangsa yang luar biasa ini mencakup wilayah yang luas dan dapat ditemukan di berbagai belahan Asia. Preferensi habitatnya juga cukup beragam, mulai dari hutan hujan tropis yang rimbun, hutan lebat, bahkan daerah perkotaan. Hal ini karena elang-alap jambul memiliki kemampuan adaptasi yang baik di segala kondisi. Kemampuan adaptasi dan ketahanannya inilah yang menjadikan burung elang-alap jambul yang begitu luar biasa.

Perilaku Pola Asuh

Dua ekor anakan Elang-alap jambul usia 3 minggu. (Foto: Pepy N Afidah)

Elang-alap jambul merupakan predator yang sangat lincah dengan penglihatan yang sangat tajam. Mereka memiliki pendekatan unik terhadap reproduksi yang menunjukkan ketahanan dan dedikasi untuk memastikan kelangsungan hidup generasi mereka. Selama musim kawin yang biasanya terjadi antara bulan Maret dan Agustus, elang-alap jambul jantan dan betina mulai membentuk ikatan satu sama lain hingga menjadi pasangan yang siap untuk bereproduksi. 

Berikut merupakan beberapa perilaku pola asuh yang tercatat selama pengamatan:

1. Menyiapkan Sarang dan Inkubasi Telur
Elang-alap jambul akan membangun sarang di tempat yang tinggi, misalnya pada kanopi pohon, sebagai tempat perlindungan yang aman. Betina bertanggung jawab atas pembangunan sarang dengan menganyam ranting dan dahan sampai tercipta sarang yang nyaman bagi keturunannya di masa depan. Setelah sarang selesai, betina kemudian akan bertelur 2-3 butir yang kemudian dengan tekun akan diinkubasinya selama kurang lebih 35-40 hari. Selama periode ini, jantan bertanggung jawab untuk memenuhi asupan makanan bagi betina di sarang dan dirinya sendiri.

2. Mengerami Anak

Induk betina mengerami anak pada saat hujan (Foto: Pepy N Afidah)

Perilaku mengerami anak ini berbeda dengan inkubasi pada telur. Berdasarkan pengamatan di lapangan, perilaku mengerami anak banyak dilakukan oleh induk betina dengan tujuan melindungi anak dari hujan dan menjaga suhu tubuh anak agar tetap hangat melalui suhu tubuh induk. 

3. Berburu
 
Induk betina membawa mangsa tupai (Foto: Hammaz Zia)

Elang-alap jambul merupakan pemburu yang handal. Ia memanfaatkan ukuran tubuhnya yang ringkas serta menggunakan berbagai teknik berburu untuk memperoleh mangsanya. Dengan jenis mangsa yang beragam, elang-alap jambul menyesuaikan strategi berburunya sesuai dengan mangsa yang tersedia di habitatnya. Misalnya pada saat berburu burung, elang-alap jambul akan menggunakan pendekatan secara tersembunyi dan mengandalkan kejutan serta ketangkasan menggunakan cakarnya yang tajam untuk menyergap burung. Sebaliknya, ketika menargetkan mamalia kecil atau reptil, elang-alap jambul akan memanfaatkan kecepatan dan akurasinya dengan menukik dari ketinggian untuk merebut mangsanya di tengah penerbangan.

4. Meloloh Anak

Induk jantan meloloh anakan dengan mangsa burung kecil (Foto: Pepy N Afidah)

Meloloh merupakan istilah umum di dunia Aves yang memiliki arti memberi makan kepada anak. Jumlah makanan yang dilolohkan induk kepada anak akan menurun seiring berjalannya waktu karena anak yang tumbuh mulai belajar makan secara mandiri. 

Anak akan mulai makan sendiri pada usia 5 minggu. Selanjutnya, pemberian mangsa oleh jantan sepenuhnya berhenti setelah anak mencapai usia 7 minggu. Proses meloloh pada elang-alap jambul dilakukan dengan mengoyak mangsa menjadi bagian-bagian kecil, kemudian induk betina melolohkan daging kepada anak.

5. Memantau anak
Perilaku memantau anak lebih banyak dilakukan oleh induk jantan dibandingkan induk betina. Perilaku memantau anak pada elang-alap jambul ditunjukkan dengan terbang di sekitar pohon sarang atau hinggap pada pohon yang berada disekitar sarang dengan melihat ke arah kanan dan kiri. Selain itu, beberapa kali dijumpai mengunjungi sarang untuk memastikan keadaan anak beberapa saat kemudian keluar kembali.

Dari beberapa perilaku yang sudah dijelaskan, terlihat bahwa perilaku pengasuhan anak di sarang banyak dilakukan oleh induk betina dibandingkan dengan induk jantan. Induk jantan banyak bertugas mengawasi dan memantau anak di luar sarang. Meski demikian, pasangan elang-alap jambul ini memiliki kerja tim yang baik dan menunjukkan bahwa mereka memiliki kedalaman ikatan dan komitmen terhadap keberhasilan reproduksi.

Preferensi Makanan
Makanan elang-alap jambul sangat bervariasi mulai dari mamalia kecil, aves hingga reptil. Preferensi makanan yang paling tinggi ke rendah adalah bunglon, kadal, anak ayam, burung kecil, dan tupai. Berdasarkan pengamatan, induk elang-alap jambul sering terlihat membawa mangsa bunglon ke dalam sarang untuk diberikan kepada anak. Pada beberapa kesempatan, terlihat induk elang-alap jambul sedang meloloh anak ayam. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa induk elang-alap jambul memilih untuk memangsa anak ayam. Pertama, mungkin karena lokasi sarang yang dekat dengan pemukiman warga sehingga induk elang-alap jambul dengan mudah memangsa anak ayam atau kedua, mungkin mangsanya di alam semakin berkurang? Sepertinya perlu diamati lagi…

Referensi 
Galmes, M. A., Sarasola, J. H., Grande, J. M., & Vargas, F. H. (2018). Parental care of the endangered chaco eagle (Buteogallus coronatus) in Central Argentina. Journal of Raptor Research, 52(3), 316–325. https://doi.org/10.3356/JRR-16-82.1
Ridwan, I., At, M., & Rusli, A. R. (2014). Pemantauan Ekologi Sarang Elang Jawa (Spizaets bartelsi) Di Wilayah Hutan Cikaniki. Jurnal Nusa Sylva, 14(2), 43–46.
Taufiqurrahman, I., Akbar, P. G., Purwanto, A. A., Untung, M., Assiddiqi, Z., Iqbal, M., Wibowo, W. K., F.N, T., & Triana, D. A. (2022). Panduan Lapangan Burung-Burung di Indonesia Seri I: Sunda Besar (1st ed.). Birdpacker Indonesia-Interlude: Batu.


 Penulis: Kasidi | Penyunting: Sidiq Harjanto

 

Rutinitas sehari-hari membuat badan menjadi terasa lelah dan letih. Namun, rasa lelah itu terobati setelah kedatangan tamu untuk bermain dan belajar bersama dengan teman-teman. Rabu, 27 September 2023, saya dan teman-teman yang tergabung dalam kelompok KTH Wanapaksi kedatangan tamu istimewa. 

Murid-murid SD Negeri 1 Jonggrangan menjadi tamu yang kami anggap istimewa. Selain datang untuk bermain, mereka kami undang ke sekretariat KTH Wanapaksi untuk belajar mengenali lingkungan alam sekitar kita. Outing class, begitu istilahnya.

 


Kegiatan tersebut merupakan salah satu rangkaian program kegiatan tahunan KTH Wanapaksi dengan mengundang anak-anak usia sekolah sebagai penerus dalam upaya pelestarian lingkungan yang dijalankan teman-teman divisi konservasi. Sebanyak 70 peserta dari kelas IV, V, VI dan tiga orang guru pendamping yang kami undang.

Tepat pukul 08.00, diawali dengan sambutan oleh ketua KTH Wanapaksi dan perwakilan BKSDA Yogyakarta, lalu dilanjutkan dengan kegiatan di lapangan. Sebelum berangkat, tak lupa foto bersama dan pembagian kelompok terlebih dahulu. Selama perjalanan lapangan, anak-anak diberi pemahaman mengenai pentingnya sumber air, batuan kars, dan tumbuhan bagi kehidupan. Kami juga dibantu oleh teman teman mitra kami, Yayasan Kanopi Indonesia, guna memberikan pengetahuan yang lebih luas bagi anak- anak.

 


Setelah selesai di lapangan, perjalanan kembali ke sekretariat KTH untuk istirahat dan makan siang. Acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab yang berkaitan dengan hasil belajar lapangan. Hadiah diberikan kepada mereka yang aktif sehingga membuat anak-anak begitu ramai dan gembira. Selesai pada pukul 11.45 dengan doa penutup dan kembali ke Jonggrangan.

Foto dok. Supangat




Older Posts

Serba-Serbi

  • Riset
  • Opini
  • Desa Ramah Burung
  • Kopi Konservasi
  • Liputan
  • Profil
  • Shade Grown Coffee
  • Adopsi Sarang Burung
  • Sejarah
wa

Follow Us

Created By SoraTemplates | Distributed by GooyaabiTemplates