facebook instagram
Powered by Blogger.
  • Home
  • Tradisi
  • Produk
    • Kopi
      • Robusta
      • Arabika
    • Gula Aren
    • Gulo Ampas
    • Produk Lain
  • Burung Jatimulyo
  • Program
    • Adopsi Sarang Burung
    • Dana Riset dan Konservasi
  • Tentang Kami
    • Cerita Kami
    • Team

Kopi Sulingan






Naskah dan foto oleh Imam Taufiqurrahman 

Di lingkup Jogja, Kulon Progo menjadi wilayah penghasil kopi terbesar. Dan pada Perbukitan Menoreh lah lumbung kopi itu berada, lumbung kopinya Jogja.  

Mengacu “Statistik Perkebunan Indonesia 2018-2020”, luas total perkebunan kopi DIY diperkirakan mencapai 1.724 hektare. Kulon Progo menyumbang 1.453 hektare, setara dengan 84% dari luas total perkebunan kopi DIY. Dari jumlah itu, tiap tahunnya Kulon Progo mampu menghasilkan tidak kurang dari 435 ton kopi berasan atau green bean.

Seluruh area kopi tersebut tergolong usaha perkebunan rakyat. Milik orang per orang. Tidak ada kepemilikan dari perusahaan, baik swasta maupun negara. Khusus Kulon Progo, lahan perkebunan rakyat ini diusahakan oleh 5.317 petani. Terutama berasal dari desa-desa dalam wilayah Kepanewon Samigaluh dan Girimulyo, dengan sedikit tambahan dari Kokap dan Kalibawang. 

Yang menarik, dalam buku statistik terbitan Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2019 itu, hanya jenis kopi robusta yang tercatat di Kulon Progo. Tidak ada sama sekali angka tertera untuk arabika. Hanya Sleman yang terdata memiliki area perkebunan kopi arabika. Per 2018, luasnya tercatat 46 hektare dengan produksi 12 ton.

Benarkah demikian?

Tentu saja tidak. Meski robusta sangat mendominasi, wilayah Perbukitan Menoreh Kulon Progo juga menghasilkan arabika. Arabika yang terbilang istimewa.

Keistimewaan itu terutama dari faktor elevasi. Umumnya, kopi arabika ditanam pada kawasan dengan ketinggian melebihi 1.000 meter di atas permukaan laut. Sementara, 90% lebih kawasan Menoreh, tempat kopi arabika dan robusta tumbuh, berada di bawah ketinggian itu. 

Arabika yang diproduksi oleh Kopi Sulingan berasal dari tanaman yang tumbuh di rentang ketinggian 600-800 meter. Elevasi yang sebenarnya tak lazim untuk jenis arabika. Namun, kondisi ini justru mampu menghasilkan kopi arabika yang unik, yang biasa disebut dengan arabika dataran rendah. 

Jumlahnya tanamannya terbilang langka, masih sangat sedikit. Sehingga, upaya penanaman beberapa varietas baru terus diupayakan, baik sebagai tanaman pekarangan maupun tumpangsari.

Secuil wilayah di atas ketinggian 1.000 meter terdapat di Kalurahan Gerbosari, Samigaluh. Di desa tersebut terdapat lokasi area wisata terkenal Puncak Suroloyo, sekaligus produsen kopi bernama Kopi Suroloyo.

Faktor ketinggian ini yang mungkin menyebabkan kopi arabika Kulon Progo tidak terdeteksi. Ditambah sistem penanamannya yang tumpangsari atau sebagai tanaman pekarangan, bisa saja makin menyulitkan arabika terdata.

Beruntung potensi besar dan unik ini telah disokong dengan hadirnya produsen kopi lokal. Masing-masing telah memiliki olahan robusta dan arabikanya sendiri. Di lingkup Girimulyo, selain Kopi Sulingan (Jatimulyo), terdapat pula Kopi Jebret dan Kopi Punggel (Purwosari). Sementara untuk lingkup Samigaluh, ada Kopi Suroloyo (Gerbosari), Kopi Menoreh dan Kopi Moka Menoreh (Sidoharjo) serta Kopi Mbajing (Pagerharjo). Terdapat pula produk yang mengusung nama Kopi Star Prog dan Kopiku. 

Kawasan Perbukitan Menoreh mungkin belum dikenal dalam peta perkopian nasional. Namun, geliat produsen-produsen kopi lokal yang ada itu tentu makin meneguhkan Perbukitan Menoreh sebagai lumbung kopinya Jogja.


Naskah dan foto oleh Sidiq Harjanto

Kebutuhan masyarakat dunia terhadap kopi kian meningkat dari waktu ke waktu. Konon, setiap harinya lebih dari satu setengah milyar cangkir kopi dikonsumsi oleh penduduk bumi. Kopi bahkan diklaim sebagai komoditi perdagangan utama ke dua setelah minyak mentah.

Tingginya permintaan kopi memacu para petani untuk meningkatkan produktivitas kopi di hamparan-hamparan kebunnya. Beragam isu terkait produktivitas kebun kopi, antara lain: kesuburan tanah, agrokimia, pengendalian hama penyakit, dan peran serangga penyerbuk. Isu yang terakhir barangkali jarang diperhatikan para pekebun kopi, baik skala kecil ataupun skala perkebunan. Padahal, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penyerbukan oleh serangga, khususnya lebah, sangat menentukan kuantitas maupun kualitas hasil panen kopi.

Tanaman kopi berasal dari Benua Afrika. Para peneliti menduga bahwa tanaman ini telah mengalami koevolusi dengan lebah Apis mellifera di tempat asalnya. Artinya, lebah mellifera telah menjadi serangga penyerbuk penting bagi tanaman kopi sejak ribuan atau bahkan jutaan tahun. Setelah tersebar ke berbagai belahan dunia, tanaman kopi bisa diterima oleh jenis-jenis lebah lokal di mana tanaman itu tumbuh. Lihat saja pada saat bunga kopi bermekaran, akan dijumpai aneka jenis lebah mengerumuninya.

Secara alamiah, tanaman kopi jenis robusta (Coffea canephora) membutuhkan penyerbukan silang dengan agen penyerbuk berupa angin dan serangga. Sedangkan kopi arabika (C. arabica) meskipun bisa melakukan penyerbukan mandiri (self pollination), tetapi aplikasi serangga penyerbuk terbukti meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen. Pada jenis tanaman kopi khas dataran tinggi ini, keberadaan lebah dapat dikatakan sebagai booster penyerbukan. Pernah dilaporkan bahwa produktivitas kopi arabika dengan aplikasi penyerbukan bisa meningkat 20-25 %.

Bunga kopi, yang biasanya mekar secara serempak, mengundang lebah-lebah berdatangan. Lebah mengincar nektar dan serbuk sari bebungaan, termasuk bunga kopi yang berwarna putih bersih itu. Saat lebah-lebah memanen makanan mereka itu, serbuk sari banyak yang menempel di tubuh mereka. Lebah berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga lainnya. Serbuk sari yang menempel pada tubuh lebah berguguran, tertangkap pada permukaan kepala putik. Di situlah potensi terjadinya penyerbukan silang.

Keanekaragaman dan kemelimpahan jenis lebah pengunjung bunga merupakan faktor penting dalam meningkatkan peluang terjadinya penyerbukan silang pada tanaman kopi. Semakin tinggi jumlah jenisnya dan semakin banyak individunya, berpeluang besar meningkatkan produktivitas kebun-kebun kopi. Perlu diketahui bahwa di dunia ada 20 ribuan jenis lebah, terdiri dari kelompok lebah sosial maupun lebah soliter. Kedua kelompok utama itu sama-sama penting bagi penyerbukan.

Menjaga keanekaragaman dan kemelimpahan serangga penyerbuk tentu butuh upaya khusus. Hutan-hutan di sekitar kebun kopi perlu di jaga, karena di sanalah rumah bagi berbagai jenis serangga penyerbuk. Para peneliti merekomendasikan pengayaan pohon naungan untuk memberikan habitat bersarang bagi berbagai jenis lebah penyerbuk. Di sisi lain, penggunaan bahan kimia seperti pestisida tentu harus dihindari, karena bahan-bahan kimia itu merupakan pembunuh utama para serangga penyerbuk.

Sistem tanam kombinasi atau dikenal sebagai "agroforestri" memungkinkan petani mengombinasikan antara pembudidayaan kopi dengan peternakan lebah madu. Melalui kombinasi ini, petani mendapatkan manfaat ganda. Pertama, jasa penyerbukan lebah terhadap kopi maupun aneka komoditi lainnya. Kedua, lebah menghasilkan madu yang bisa menjadi pendapatan tambahan bagi petani. Kiranya sistem budidaya terintegrasi semacam ini bisa menjadi solusi pengelolaan lahan, terutama bagi para petani kecil di perdesaan. Siapa tahu, kesadaran para petani kopi mengenai peran penting lebah dan agensia penyerbuk lainnya juga ikut terangkat.

Keterangan foto: kombinasi kebun kopi dan budidaya lebah trigona yang dikembangkan pada sistem agroforestri.


Teks dan foto oleh Imam Taufiqurrahman

Program adopsi sarang bertujuan untuk melindungi burung dan habitatnya dari ancaman kepunahan. Namun, tentu tujuannya tak hanya itu. Selain memiliki manfaat secara ekologi, terdapat pula manfaat ekonomi yang dapat dirasakan masyarakat Jatimulyo dari kegiatan konservasi ini. 

Bahkan, masyarakat Jatimulyo sebagai pemilik lahan sekaligus penanggung jawab program, menjadi pihak yang paling mendapatkan keuntungan. Bagaimana itu bisa dijalankan?

Latar belakang dari program adopsi adalah menjawab tantangan agar burung yang dibiarkan bebas di alam juga memiliki nilai ekonomi langsung. Bila dulu, sebelum perdes berlaku, nilai ekonomi tersebut didapat masyarakat dari mengambil burung. Namun, nilai ekonomi itu tidak bisa diperoleh lagi karena adanya larangan dan sanksi. Adopsi sarang kemudian menjadi langkah solusi. 

Lewat adopsi sarang, masyarakat akan menerima insentif dana dari pengadopsi sebagai bentuk apresiasi atas upaya penjagaan dan pelestarian yang dilakukan. Ada banyak pihak di masyarakat yang akan memperoleh insentif tersebut. 

Pertama, pemilik lahan. Ia akan mendapat insentif saat ada jenis burung target adopsi bersarang di lahannya. Pemilik lahan inilah si pemilik burung berikut sarangnya. Dan apresiasi diberikan atas usaha sang pemilik lahan mempertahankan habitat di lahannya tetap terjaga sehingga burung mau bersarang, merasa aman, dan terlindung.

Pihak kedua adalah penemu sarang. Ia bisa saja si empunya lahan. Namun, tidak selalu demikian. Penemu sarang biasanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan pengalaman khusus dalam menemukan sarang yang kerap tersembunyi. Butuh usaha tersendiri untuk itu. Sementara pemilik lahan sering kali menjadi pihak yang tidak tahu-menahu akan adanya burung bersarang di lahannya. 

Sebelum perdes berlaku, burung yang bersarang tidak dianggap sebagai hak milik siapa pun. Padahal, sebagaimana cengkeh, kelapa, kapulaga, dan berbagai jenis komoditas yang ditanam oleh seseorang di lahannya, itu semua ada pemiliknya. Burung yang bersarang di lahan juga harus dipandang demikian. Sehingga, siapa pun tidak boleh mengambil karena menjadi hak milik dari si empunya lahan.

Pihak selanjutnya adalah RT/RW tempat lokasi sarang ditemukan. Tujuannya, agar komunitas umum bisa mengetahui dan merasakan juga manfaat dari membiarkan burung di alam. Pihak RT/RW mengalokasikan dananya untuk kas, yang dapat dibelanjakan untuk keperluan bersama. 

Pihak keempat di masyarakat yang mendapat insentif dana adalah KTH Wanapaksi selaku pengelola program. Selain untuk kas, dana tersebut digunakan untuk operasional program, seperti membangun bilik persembunyian untuk memantau perkembangan burung bersarang dan pemasangan papan informasi adopsi.

Berjalannya program adopsi ini sangat bergantung dari adanya masyarakat luas yang menjadi pengadopsi atau orang tua asuh. Pengadopsi menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan karena memberi suntikan dana yang akan dibagikan ke para pihak di masyarakat itu. Tentu pengadopsi tidak akan jadi pemilik burung, namun ia menjadi pihak yang turut berperan serta dalam usaha penyelamatan. 

Inilah yang menjadikan program adopsi sarang unggul dalam upaya penyelematan burung di alam. Pertama, karena memberi kebermanfaatan yang berimbang, baik ekologi maupun ekonomi. Kedua, kegiatan ini hanya akan berjalan ketika banyak pihak terlibat. Ada masyarakat setempat sebagai pemilik lahan, program, sekaligus yang mendapat manfaat. Ada pihak pendonasi yang berderma, memberi santunan dan apresiasi dalam upaya penyelamatan. Selanjutnya, ada lembaga konservasi dan pemerintah desa yang terus mengawasi serta mendampingi jalannya program.    

Anda yang tertarik dan ingin terlibat sebagai pendonasi, dapat menghubungi KTH Wanapaksi melalui Andri sebagai narahubung di 081229914791.

 


Teks dan foto oleh: Imam Taufiqurrahman

Adopsi sarang burung mungkin masih terdengar asing di telinga. Namun, model penyelamatan burung di alam secara multi-pihak ini telah berlangsung semenjak lama di banyak negara, termasuk Indonesia.

Adopsi sarang ini berbeda dengan adopsi yang biasa dilakukan. Tidak sebagaimana yang umum diketahui untuk binatang peliharaan. Perbedaan yang utama, yang diadopsi adalah sarang dari burung liar, di habitat alaminya. Karena bertujuan untuk menyelamatkan populasi burung liar di alam, adanya anakan yang berhasil keluar dari sarang menjadi salah satu ukuran kesuksesan program.

Target jenis burungnya bisa bermacam-macam. Di Thailand dan India misalnya, adopsi sarang dijalankan untuk jenis-jenis rangkong. Di Amerika terdapat Adopt-A-Nest monitoring program untuk elang tiram atau yang juga dikenal sebagai Osprey. Ada pula yang berjalan di Kanada untuk Great Blue Heron yang berkoloni di Stanley Park.

Untuk Indonesia, program sejenis diwakili oleh kegiatan yang berlangsung di bentang Perbukitan Menoreh. Tepatnya di Kalurahan Jatimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta. Berbeda dari yang berjalan di beberapa negara, di Jatimulyo burung-burung kicau menjadi target utama. Kelompok jenis ocehan ini mengalami tekanan populasi yang luar biasa. Banyak jenis makin sulit atau bahkan menghilang dari habitat alaminya.

Perburuan besar-besaran dan tiada terkendali, hilangnya habitat, serta lemahnya penegakan hukum, menjadi sebab-sebab utama yang mengancam kelestarian burung ocehan. Skalanya yang sedemikian besar dengan laju eksploitasi yang tiada terkendali, membuat Indonesia menjadi sorotan dari krisis kepunahan burung kicau di Asia atau Asian Songbird Crisis. Dari seluruh wilayah yang ada, Jawa menjadi jantung dari krisis burung kicau ini.

Pleci, sulingan, jenggot, adalah beberapa contoh jenis yang kini kian sulit dijumpai di alam. Jenis-jenis itulah yang jadi target utama adopsi sarang di Jatimulyo. Adopsi sarang juga menarget jenis-jenis elang dan burung-burung endemik, seperti cekakak jawa dan burung-madu jawa.

Program adopsi diawali oleh Kopi Sulingan dan Yayasan Kutilang Indonesia pada 2016. Saat ini, kegiatan sepenuhnya dijalankan oleh Kelompok Tani Hutan Wanapaksi. Artinya, masyarakat Jatimulyo sendiri yang menjadi penanggung jawab dan penjaga, juga mempromosikan program.

Memasuki tahun ke-5, program konservasi unggulan ini telah mencatat banyak hal yang patut diapresiasi. Mulai dari jumlah sarang yang telah berhasil diadopsi, pelibatan banyak pihak sebagai donatur atau pengadopsi, hingga peningkatan kualitas program itu sendiri yang makin informatif, meluas, dan terbuka. Terutama dari adanya keterlibatan Yayasan Kanopi Indonesia dan Perkumpulan Bisa Indonesia yang berperan serta dalam mendampingi program semenjak tahun lalu.

Hingga pertengahan 2019, adopsi sarang telah berjalan sampai 15 kali. Ada 5 jenis yang berhasil diadopsi: sulingan (4 sarang), cekakak jawa (6 sarang), elang-alap jambul dan kehicap ranting (masing-masing 2 sarang), dan jenggot (1 sarang). Para pengadopsi umumnya perorangan, meskipun ada pula yang mewakili instansi atau lembaga, dari beberapa kota di Jawa.

Sebagaimana yang telah disinggung, program adopsi sarang ini bertujuan untuk menyelamatkan jenis-jenis burung yang hidup di Jatimulyo dari ancaman kepunahan. Berbagai burung ocehan yang hidup di kawasan hutan perbukitan desa pernah menjadi sasaran pengambilan di alam yang tak lestari, sampai kemudian pemerintah desa mengeluarkan Peraturan Desa No 8 pada 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Dalam salah satu pasalnya, perburuan burung dengan cara apa pun dilarang. Siapa pun yang melanggar akan dikenai sanksi. Adopsi sarang kemudian dijalankan sebagai salah satu upaya mengembalikan populasi jenis yang telah nyaris habis diburu sebelum perdes tersebut berlaku.

Habitat yang terjaga juga menjadi tujuan dari pelestarian karena burung yang bersarang membutuhkan sumberdaya pendukung yang mencukupi. Burung membutuhkan bahan-bahan alami untuk menjadi material penyusun sarang, pepohonan untuk menempatkan sarang, lokasi yang rimbun, rapat, dan terlindung, juga ketersediaan pakan untuk mengasuh dan membesarkan anakan. Semua itu akan bisa terpenuhi bila habitat hidupnya terjaga. Sehingga, melindungi burung dan habitatnya menjadi hal penting yang tidak bisa dipisahkan.

Namun, dengan tujuan pelestarian burung dan habitatnya, apa manfaat yang bisa didapat masyarakat dari jalannya program adopsi sarang? Simak jawaban dan penjelasannya di tulisan berikutnya.
 

Ditulis oleh Gahar Ajeng Prawesthi

Tahun lalu, Ajeng merampungkan tesisnya yang berjudul “Pembagian relung ekologis tiga spesies burung Nectariniidae pada kawasan agroforestri di Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo”. Kini, master burung yang menimba ilmu di Program Studi Magister Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada ini berbagi mengenai yang ia kaji lewat penelitiannya.

Tulisan ini adalah kelanjutan dari ceritanya mengenai riset relung ekologis burung madu di Jatimulyo. Bagian pertama bisa dibaca pada tautan ini. Sebelumnya, ia juga sempat bercerita dalam “Nectariniidae dan alam Jatimulyo dalam harmonisasi”.
 

Apakah selera yang sama menjadikan burung-burung madu berebutan pakan? Jawabannya, tentu saja iya.

Meski ketiga burung madu (dan juga jenis burung madu lainnya) saling berebut memakan jenis nektar di bunga yang sama, nyatanya, kompetisi yang ada tidak begitu jelas terlihat. Burung madu ternyata memiliki waktu dan ruang mereka sendiri. Itu disesuaikan pada “selera” mereka, seperti yang dijelaskan di awal. 

Berdasarkan pengamatan yang telah saya lakukan selama dua bulan keluar masuk hutan milik warga Jatimulyo, tiap-tiap jenis memiliki waktu makan mereka masing-masing yang berbeda. Tidak terlihat jelas pertemuan antar-jenis burung madu ini saat mereka mencari makan. 

Ada yang sering mencari makan, seperti pada burung-madu Jawa. Ada pula yang memilih untuk makan di lebih sedikit jenis bunga, seperti pada pijantung kecil. Bentuk paruh membuatnya semakin selektif memilih jenis makanan.

Dari sekian banyaknya tumbuhan yang terbentang di luasnya Jatimulyo, ternyata tak semua tumbuhan berbunga dipilih oleh ketiga burung madu ini loh. Saya mencatat (yang teramati oleh mata terbatas saya) ada 23 jenis tumbuhan berbunga yang dimakan oleh ketiga burung madu ini. 

Sebagian besar merupakan golongan tumbuhan epifit, tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain. Namun uniknya, ketiga burung madu ini paling senang memilih kelapa dengan manggarnya yang melimpah sebagai makanan pokoknya. Alias, paling banyak teramati dimakan oleh burung-burung ini.
Selain kelapa, jantung pisang juga menjadi menu primadona. Sepertinya, faktor tersebut juga dipengaruhi oleh banyaknya tumbuhan tersebut yang bisa kita temui di hutan Jatimulyo dan sekitarnya.

Lalu, bagaimana dengan adanya ruang yang dimaksud sebelumnya? Ruang di sini bisa dibilang seperti wilayah kekuasaan, luasan wilayah tempat mencari makan, dimana ketiga burung tersebut mencari makan di wilayah yang saling beririsan. Wilayah di sini, termasuk jumlah pemilihan jenis tumbuhan pakannya. 

Semakin banyak jenis tumbuhan yang dimakan, maka akan semakin luas pula ruangnya. Ruang, dalam hal ini, secara ekologi disebut dengan “relung”. Apabila semakin luas relungnya, tentu saja harapan hidup suatu hewan akan semakin tinggi. Semakin mudah pula mereka akan beradaptasi dengan lingkungan, karena tidak menjadi pemilih makanan. Sebaliknya, semakin pemilih dalam menentukan selera, maka akan semakin kecil pula harapan hidupnya.

Ruang relung burung-madu jawa adalah yang paling luas dari ketiga burung madu yang saya amati. Sedangkan burung-madu kelapa dan pijantung kecil menjadi jenis yang paling banyak berbagi ruang. Melihat betapa cukup banyak jenis bunga-bungaan yang serupa yang dimakan oleh kedua burung ini, jelas terlihat bahwa kompetisi yang paling sering terjadi adalah pada kedua jenis itu. Meski demikian, tak banyak dari pengamatan saya yang bisa membuktikan adanya kompetisi rebutan makanan di lapangan. Sekali lagi, membutuhkan waktu lebih banyak untuk terus melanjutkan penelitian ini.

Daftar Pustaka
Abrahamczyk S. dan M. Kessler. 2010. Hummingbird diversity, food niche characters, and assemblage composition along a latitudinal precipitation gradient in the Bolivian lowlands. J Ornithol 151(3): 615–625
Anonymous. 2016. Desa Wisata Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo. Yayasan Kutilang Indonesia (www.kutilang.or.id/ekowisatadiy/desawisatajatimulyokp). Accessed on27 Maret 2020
Bibby, C., M. Jones, dan S. Marsden. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei Burung. Bogor: BirdLife International-Indonesia Programme
Cheke, R. A. dan C. F. Mann. 2008. Sunbirds: A Guide to the Sunbirds, Flowerpeckers, Spiderhunters, and Sugarbirds of the World 7th Edition. New Haven: Yale University Press
Cornell, H. V. 2011. Niche Overlap. Encyclopedia of Theoretical Ecology pp.489-497 University of California Press
Krebs, C. J. 1999. Ecological Methodology 2nd Edition. London: Pearson Education
Perera, P.I.P., Hocher V., Weerakoon L.K., Yakandawala D.M.D., Fernando S.C.,. Verdeil J.-L. 2010. Early inflorescence and floral development in Cocos nucifera L. (Arecaceae: Arecoideae). S Afr J of Bot 76: 482–492
Pianka, E. R. 2011. Evolutionary Ecology 7th Edition. New York: Harper and Row
Riegert, J., D. Fainova´, M. Antczak, O. Sedla´cˇek, D. Horˇa´k, J. Reif, Michal Pesˇata. 2010. Food niche differentiation in two syntopic sunbird species: a case study from the Cameroon Mountains. J Ornithol 152: 819–825
Snow B.K. dan D.W. Snow. 1972. Feeding niches of hummingbirds in a Trinidad valley. J Anim Ecol 41(2):471–485
Stover, R.H. dan Simmonds, N.W. 1987. Bananas (3rd ed.). Harlow, England: Longman
Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Kulon Progo. 2018. Kecamatan Girimulyo dalam angka. Kulon Progo: PT. Solo Grafika Utama
Tokeshi, M. 1999. Species Coexistence: Ecological and Evolutionary Perspectives. Oxford: Blackwell Science.
van Steenis, C.G.G.J. 2005. Flora Pegunungan Jawa. Bogor: LIPI.

 *Foto: Burung madu jawa (Kelik S.)
 


Ditulis oleh Gahar Ajeng Prawesthi

Tahun lalu, Ajeng merampungkan tesisnya yang berjudul “Pembagian relung ekologis tiga spesies burung Nectariniidae pada kawasan agroforestri di Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kulon Progo”. Kini, master burung yang menimba ilmu di Program Studi Magister Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada ini berbagi mengenai yang ia kaji lewat penelitiannya.

Tulisan pertama ini hadir sebagai pembuka. Sebelumnya, ia juga sempat bercerita dalam “Nectariniidae dan alam Jatimulyo dalam harmonisasi”.

Ada yang suka susu rasa cokelat, tapi aku lebih suka yang stroberi. Dia suka makan udang, sedangkan aku tidak bisa karena memiliki alergi. 

Begitulah manusia jika ingin (atau harus?) memilih makanan yang disukai maupun tidak disukai dalam pemenuhan kebutuhan perutnya. Setiap kita memiliki klasifikasi dan pantangan tersendiri terhadap makanan. 

Begitu pula dengan burung. Bahkan, burung malah jauh lebih pemilih dibanding manusia dalam urusan makanan. Salah satu yang sangat pemilih dan memilih jenis pakan yang cukup unik, adalah yang tergolong dalam Nectariniidae, si burung madu. 

Dari namanya saja, sudah jelas bahwa burung ini memakan nektar bunga. Cairan manis seperti “madu” yang dihasilkan oleh berbagai jenis bunga. Jenis dalam famili Nectariniidae ini memilih nektar bunga dan beberapa jenis serangga sebagai pakannya. Nektar bunga menjadi pakan utama, sementara serangga jadi asupan tambahan. Burung betina akan memakannya untuk pemenuhan kebutuhan protein pada masa-masa berbiak.

Famili Nectariniidae memiliki banyak spesies yang tersebar di Jatimulyo. Saya menemukan 5 jenis (dari daftar temuan di sana yang 7 jenis -red). Namun, saya hanya mengamati secara mendalam tiga jenis saja. Sebagai percontohan untuk mengetahui bagaimana sih “selera” burung madu dalam memilih makanannya dan juga apa “pantangannya” dalam memenuhi kebutuhan primer mereka. 

Tiga jenis tersebut adalah burung-madu kelapa Anthreptes malacensis, burung-madu jawa Aethopyga mystacalis, dan pijantung kecil Arachnothera longirostra. Alasan pemilihannya sederhana saja: ketiganya lebih mudah ditemukan di hutan-hutan Jatimulyo, serta lebih mudah untuk dibedakan dan diamati. Mereka memiliki morfologi tubuh dan paruh yang berbeda satu sama lain. Jadi, lebih mudah menentukan kesamaan pakan dan juga seleksi “selera” pakannya terhadap nektar jenis tumbuhan tertentu (Snow and Snow, 1972). Melihat dari bentuk tubuhnya saja sudah sangat jauh beda, bukan?

Untuk beberapa jenis burung madu, tentu jika diamati sekilas dari morfologi paruhnya, memiliki kesamaan. Ya, benar, sama-sama memiliki struktur yang tajam, panjang, dan sedikit melengkung. Yang membedakan hanyalah pada panjang pendeknya paruh itu sendiri. 

Kesamaan itulah yang juga membuat pemilihan pakan mereka sama: memakan nektar dari berbagai jenis bunga-bungaan. Bisa dari bunga yang berada di semak-semak, seperti kembang sepatu atau kaliandra. Atau dapat pula dari bunga yang berada di tempat tinggi, misalnya manggar kelapa dan jantung pisang.

Sekarang kita tahu bahwa masing-masing jenis burung madu memiliki selera pakan yang sama. Lalu, terlontar lah pertanyaan selanjutnya: apakah mereka tidak berebutan?
 

Bersambung ke bagian 2

*Foto aneka burung madu dan tanaman pakan (Kelik Suparno)

Older Posts

Serba-Serbi

  • Riset
  • Profil
  • Shade Grown Coffee
  • Adopsi Sarang Burung
  • Kopi Konservasi
  • Opini
  • Desa Ramah Burung
  • Sejarah
wa

Follow Us

Created By SoraTemplates | Distributed by GooyaabiTemplates