Bedah konsep Desa Ramah Burung menggunakan Pisau Ostrom

by - September 08, 2025

Penulis: Sidiq Harjanto

Artikel ini disusun dalam rangka refleksi 10 tahun Kopi Sulingan, sekaligus 10 tahun kontribusi kecil kami dalam pengembangan Desa Ramah Burung Jatimulyo.


Foto: Kelik Suparno

Pada penghujung tahun 1968, sebuah artikel fenomenal karya Garrett Hardin terbit. Judulnya “The tragedy of the commons”. Artikel ini telah banyak membuka perspektif baru tentang pengelolaan sumber daya alam. Yang dimaksud commons oleh Hardin adalah sumber daya "tak bertuan" yang bisa diakses oleh siapa saja. Pertumbuhan populasi yang eksponensial dengan sumber daya yang terbatas menjadi dasar pemikirannya.

Untuk menyederhanakan penjelasan tentang commons, Hardin menggunakan metafora padang rumput penggembalaan. Pada sebuah padang penggembalaan, setiap penggembala atas dasar pemikiran rasional untuk mendapatkan keuntungan pribadi, berupaya untuk menambah sebanyak mungkin hewan ternaknya. Semua penggembala melakukan hal yang sama sehingga yang terjadi adalah kerusakan masif pada padang penggembalaan itu sendiri. Kerusakan masif sumber daya bersama inilah yang dimaksud dengan tragedi. Di kehidupan terdekat kita, commons bisa berupa mata air, sungai, hutan, dll. 

Dua dekade kemudian, tepatnya tahun 1990, sebuah buku berjudul "Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action" diterbitkan. Orang di balik buku ini adalah Elinor Ostrom, seorang ilmuwan politik asal Amerika Serikat dan pemenang Nobel di bidang ekonomi. Buku ini sering dianggap sebagai bantahan atas argumen Hardin, terutama pada usulannya mengenai pengelolaan commons yang terdiri dari dua alternatif yaitu pengaturan oleh negara atau privatisasi (kepemilikan pribadi). Menurut Ostrom, ada alternatif lain yang lebih efektif yaitu pengaturan bersama oleh masyarakat atau aksi kolektif.

Ostrom membangun argumen dari penelitian empirisnya mengenai keberhasilan berbagai komunitas masyarakat dalam pengelolaan commons dari berbagai negara. Jika Hardin berasumsi bahwa commons adalah open access resources yang benar-benar tak bertuan, memang dapat diasumsikan siapa saja bisa mengaksesnya. Dengan asumsi ini, tragedy of the commons menjadi keniscayaan. Sebagai solusi atas masalah itu, Ostrom mengusulkan konsep common-pool resources (disingkat CPRs) di mana sumber daya dimiliki dan dikelola bersama.

Desa Ramah Burung: Dari Jatimulyo untuk Indonesia

Inisiatif masyarakat di Jatimulyo dalam pelestarian burung menggunakan konsep Desa Ramah Burung dianggap cukup sukses melestarikan burung ditingkat lokal. Desa Ramah Burung menjadi sebuah pendekatan untuk mempertahankan kelestarian burung di tingkat desa. Di dalamnya ada aturan atau kesepakatan masyarakat, beserta skema pemanfaatan yang lestari. Melalui proses yang panjang, konsep ini efektif menekan eksploitasi biodiversitas, khususnya burung di desa Jatimulyo sebagai inisiatornya. KTH Wanapaksi sebagai motor penggeraknya bahkan telah diganjar penghargaan Kalpataru atas prestasi tersebut.

Semua orang tentu familiar dengan burung. Di mana-mana kita bisa menjumpainya. Di hutan, di sawah, di pantai, hingga di permukiman burung bisa dijumpai. Burung adalah kelompok binatang bertulang belakang yang ciri utamanya adalah tubuhnya dilengkapi bulu dan sayap. Dalam taksonomi, mereka termasuk dalam kelas Aves. Jumlah jenisnya kurang lebih 10.000 di seluruh dunia, sedangkan Indonesia sendiri menyumbang sekira 1.800 jenis.

Negara telah mengatur pemanfaatan burung maupun satwa liar lainnya. Berbagai jenis burung statusnya dilindungi, yang artinya tidak boleh ditangkap dan diperdagangkan. Ada pula aturan mengenai kuota penangkapan satwa tidak dilindungi. Namun, aturan-aturan ini masih belum optimal dan masih ditemukan banyak pelanggaran. Untuk efektivitas aturan dalam skala besar, bakal membutuhkan ongkos yang sangat-sangat besar.

Burung-burung dan berbagai spesies satwa liar bisa dikategorikan commons dengan pemahaman yang lebih kompleks. Tidak semua orang memanfaatkan satwa liar secara langsung, misalnya untuk dikonsumsi atau dijual. Namun, perlu diingat bahwa banyak orang diuntungkan dengan keberadaan burung-burung. 

Contoh sederhananya: para petani yang mendapatkan jasa ekologi berupa pengendalian hama dan jasa penyerbukan. Artinya, pengambilan atau penangkapan besar-besaran (yang biasanya hanya dilakukan oleh segelintir orang) memberikan kerugian secara komunal, dampaknya bisa jauh lebih besar, dan sangat sulit dikalkulasi karena sifatnya sistemik. Karena menyangkut kepentingan banyak orang, pemanfaatan burung maupun satwa liar lainnya perlu diatur bersama.  

Titik balik Jatimulyo sebagai desa ramah burung adalah terbitnya Peraturan Desa No 8 Tahun 2014 yang salah satu isinya adalah perlindungan semua jenis burung di wilayah Desa Jatimulyo. Terbitnya perdes itu menandai berubahnya status burung-burung liar di Jatimulyo dari seolah-olah “open access”  menjadi “common-pool resources” alias CPRs. Burung yang semula dianggap tidak bertuan, statusnya dipertegas menjadi “dimiliki” dan dikelola oleh desa sebagai sebuah institusi sekaligus sebuah komunitas masyarakat yang fungsional. 

Kesesuian Desa Ramah Burung dengan Prinsip-prinsip Ostrom

Ada delapan prinsip dalam pengelolaan CPRs yang diusulkan Ostrom. Mari kita lihat apakah konsep Desa Ramah Burung ala Jatimulyo relevan dengan prinsip-prinsip tersebut. Pertama, batasan yang jelas. Pada konteks Jatimulyo, batasnya jelas yaitu lingkup desa. Semua warga desa maupun warga luar desa tidak diperkenankan menangkap burung liar yang berada di wilayah Jatimulyo. Kedua, kesesuaian dengan karakter lokal. Warga desa memiliki rasa kepemilikan yang kuat terhadap desa beserta segala sumber daya di dalamnya sehingga aturan ini segera diterima oleh mayoritas anggota masyarakat.

Ketiga, keputusan kolektif. Terbentuknya KTH Wanapaksi sebagai motor penggerak dalam pengembangan konsep Desa Ramah Burung menjadi sebentuk upaya kolektif. Melalui kelompok, penegakan aturan bisa dijalankan. Kelompok melakukan sosialisasi perdes, patroli pengamanan, dan berbagai bentuk kampanye. Di lain sisi, upaya-upaya pemanfaatan burung secara lestari seperti ekowisata dan program adopsi sarang juga bisa disusun bersama.

Keempat, pemantauan yang efektif. Warga desa memiliki kesadaran untuk berpartisipasi menegakkan aturan perdes yang melarang perburuan burung. Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap aturan segera dilaporkan kepada pihak yang berwenang (dalam hal ini Pemerintah Desa atau pihak yang ditunjuk oleh Pemerintah Desa) untuk ditindaklanjuti. 

Kelima, sanksi bertingkat. Di Jatimulyo, pelanggaran terhadap perdes yang melindungi burung dimulai dari peringatan lisan, peringatan tertulis, hingga tindakan hukum. Keenam, resolusi konflik. Harus diakui, telah terjadi beberapa kali pelanggaran terhadap aturan mengenai penangkapan burung. Resolusi yang diambil sejauh ini, melalui peringatan lisan sudah cukup efektif dalam mengurangi angka perburuan di wilayah desa.

Ketujuh, pengorganisasian otonom. Kelompok masyarakat bisa secara mandiri mengelola program-program sebagai partisipasi dalam mendukung Desa Ramah Burung, misalnya program adopsi sarang oleh Wanapaksi hingga penciptaan kreasi tarian burung oleh komunitas seni. Kedelapan, struktur berlapis. Aturan di lingkup desa seperti perdes tentu disesuaikan dengan aturan yang lebih tinggi baik di tingkat daerah maupun aturan dari pusat. Misalnya, pada kasus-kasus yang melibatkan burung-burung yang dilindungi negara, digunakan penegakan hukum melalui hirarki kewenangan yang lebih tinggi karena mengandung unsur pidana.

Masih berkaitan dengan struktur berlapis, gagasan Desa Ramah Burung ini perlu dikembangkan ke skala yang lebih besar, menuju lansekap ramah burung. Hal ini bisa terwujud dengan mendorong desa-desa di sekitar untuk membuat skema yang serupa. Namun, setiap desa perlu diberikan keleluasaan untuk membuat skema mereka sendiri yang kompatibel dengan karakteristik sendiri. Pengaturan pada skala yang lebih besar harus mampu mengakomodir inisiatif-inisiatif pada skala yang lebih kecil.

CPRs ala Jatimulyo belum final. Capaian-capaian yang disebutkan tadi patut kita apresiasi, tetapi tantangan ke depan juga semakin beragam, sebut saja perubahan iklim hingga disrupsi budaya. Masih terbuka inovasi-inovasi yang bisa semakin memperkuat aksi kolektif masyarakat dalam rangka pengelolaan sumber daya alam. Dengan karakter CPRs yang otonom dan partisipatif, ada ruang untuk pembaruan-pembaruan yang adaptif terhadap berbagai dinamika.

Tak bisa dimungkiri bahwa banyak permasalahan lingkungan hidup bersifat global, seperti perubahan iklim, deforestasi, dan kepunahan massal. Namun, cara-cara penanganannya bisa dimulai dari skala kecil-kecil. Pengelolaan CPRs seperti yang diusulkan Ostrom kiranya efektif pada skala kecil hingga menengah.


Referensi:

Hardin, G. 1968. The tragedy of the commons. Science, New Series, Vol. 162, No. 3859 pp. 1243-1248.

Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action . Cambridge University Press.

You May Also Like

0 comments