Lebih dekat dengan Desa Ramah Burung (5): Hubungan Antara Komunitas Burung, Upaya Konservasi, dan Persepsi Masyarakat Jatimulyo

by - March 10, 2021


Tulisan ini menjadi bagian terakhir dari lima tulisan Faradlina Mufti yang memaparkan seluk-beluk penelitian tesisnya “Struktur Komunitas dan Upaya Konservasi Burung di Desa Jatimulyo, Kulon Progo, D.I.Y.”. Mufti melakukan penelitiannya sepanjang 2019 dan kemudian memperoleh gelar Magister of Science dari Universitas Gadjah Mada di penghujung 2020. Sebelum seri tulisan ini, ia berbagi sepenggal kesan dalam “Minggu pagi minum kopi di Jatimulyo”.

Lebih dekat dengan Desa Ramah Burung (1): Ketertarikan meneliti Jatimulyo

Lebih dekat dengan Desa Ramah Burung (2): Komunitas burung Jatimulyo dan habitatnya

Lebih dekat dengan Desa Ramah Burung (3): Upaya konservasi burung di Jatimulyo

Lebih dekat dengan Desa Ramah Burung (4): Persepsi masyarakat Jatimulyo terhadap konservasi burung

Upaya konservasi burung yang telah dilakukan di Jatimulyo, diperkirakan mempengaruhi komunitas burung dan persepsi masyarakat terhadap burung beserta pelestariannya. Berdasarkan hasil pengamatan dan kuesioner, hal itu menunjukkan kecenderungan yang positif. Artinya, upaya konservasi yang telah dilakukan memberi dampak yang nyata, baik bagi burung maupun bagi masyarakat.

Meski, penafsiran dari hasil penelitian ini dipengaruhi oleh metode penyebaran kuesioner. Metode penyebaran kuesioner dapat mempengaruhi hasil responden. Metode penyebaran kuesioner dilakukan secara online sehubungan dengan adanya musibah virus Covid-19. Musibah ini, membatasi ruang dan gerak saya dalam melakukan pencuplikan data, terutama yang membutuhkan interaksi langsung dengan masyarakat. Kuesioner saya buat di Google Form, kemudian disebarluarkan melalui WhatsApp, baik menghubungi langsung secara pribadi maupun WhatsApp Group. Artinya, yang mendapatkan sekaligus mengisi kuesioner pencuplikan data adalah orang yang mempunyai gawai android disertai aplikasi WhatsApp. Hal ini dapat menjadi faktor pembatas responden. Masyarakat yang tidak memilikinya tidak dapat mengisi kuesioner.

Namun, setidaknya melalui penelitian ini sedikit banyak dapat menggambarkan persepsi masyarakat  Jatimulyo terhadap burung dan upaya konservasinya, berikut dampaknya terhadap burung maupun masyarakat.

Indrawan, et al. (2012) dalam Biologi Konservasi, menyampaikan bahwa salah satu tolok ukur ketercapaian upaya konservasi adalah keterlibatan masyarakat lokal. Peran serta masyarakat lokal mempunyai nilai penting dalam melestarikan burung di Jatimulyo. Kontribusi penting masyarakat lokal dalam upaya konservasi burung di Jatimulyo adalah terbentuknya Perdes No. 8 tahun 2014 yang salah satu pasalnya tentang larangan berburu burung. Selanjutnya, terbentuk berbagai komunitas masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap burung. 

Komunitas masyarakat ini adalah Komunitas Peduli Menoreh (KPM) dan Masyarakat Pemerhati Burung Jatimulyo (MPBJ) yang kemudian menjadi bagian dari KTH Wanapaksi. Melalui komunitas, masyarakat mempunyai wadah untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka mendukung dan menerapkan Perdes No. 8 tahun 2014. Kegiatan ini antara lain pengamatan burung, publikasi dalam bentuk pemasangan papan informasi perdes di beberapa sudut pinggir jalan, maupun lewat media sosial, adopsi sarang burung, dan keterlibatan dalam pelepasliaran burung.

Beberapa kegiatan tersebut secara tidak langsung memberikan dampak terhadap keanekaragaman komunitas burung di Jatimulyo. Berikut peran serta masyarakat lokal dalam upaya konservasi burung:

a.    Pengamatan burung/Birdwatching
Kegiatan pengamatan burung ikut andil dalam proses panjang upaya konservasi di Jatimulyo. Jauh sejak sebelum terbentuk komunitas masyarakat (KPM, MPBJ dan KTH), pengamatan burung telah dilakukan sejak tahun 2009. Pengamatan burung diikuti oleh masyarakat dengan berbagai latar belakang (LSM/Lembaga swadaya masyarakat; fotografer satwa liar; mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta; dan masyarakat lokal). 

Kemudian tahun 2011 KPM terbentuk, yang aktif melakukan berbagai kegiatan, salah satunya pengamatan burung bersama anak-anak.  Dari pengamatan burung secara bersama, dilakukan berkali-kali dalam rentang waku yang cukup lama (2009-sampai sekarang) secara tidak langsung terjadi transfer pengetahuan. Transfer pengetahuan ini menjadi bagian dari proses pendidikan lingkungan, terutama bagi masyarakat lokal. Kegiatan ini mampu menyadartahukan sebagian masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian burung. Saat masyarakat lokal menyadari, mereka tidak lagi mengambil, namun hanya mengamati (bird watching). 

Masyarakat lokal, dengan aktivitas hariannya yang tidak jauh dari kebun, hutan, dan sawah yang merupakan habitat burung, melakukan pengamatan di saat mereka beraktivitas. Pengamatan dilakukan setiap waktu, yang kemudian mampu menjadi kebisaan. Ini menjadi salah satu kontribusi penting dari upaya konservasi burung. 

Kesadaran menjaga kelestarian burung, yang kemudian menjadi kebiasaan mengamati burung sambil aktivitas berkebun, bertani, memanen gula aren, dan lain sebagainya, secara tidak langsung dapat mempengaruhi keanekaragaman burung di Jatimulyo.   

b.    Publikasi
Publikasi dalam bentuk pemasangan papan Perdes No. 8 tahun 2014 di beberapa sudut pinggir jalan serta sosialisasi dilakukan secara tersirat. Sosialisasi berbentuk nonformal insidental, artinya sosialisasi secara tidak sadar, dalam berbagai forum masyarakat. Sebagai contoh, perbincangan-perbincangan di warung kopi, di kebun, di sawah dan lain-lain. Kegiatan tersebut mempunyai kontribusi terhadap penurunan kasus perburuan burung di Jatimulyo. Hal ini dibuktikan dengan kecenderungan kasus perburuan yang menurun sejak 3-4 tahun terakhir. 

Bukti yang lain adalah berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu masyarakat lokal di Dusun Jonggrangan, Jatimulyo menyatakan bahwa “masyarakat jika secara tidak sengaja bertemu dengan pemburu burung, mereka akan mengingatkannya. Jika hanya bertemu dengan kendaraanya (motor), maka melalui kendaraan tersebut, diberi hukuman, misal: disobek ban motornya; motor dimasukan ke semak-semak dan hukuman-hukuman lain ” (Kamil 2020, pers. comm). Saat kasus perburuan menurun, maka diperkirakan keanekaragaman burung semakin meningkat.

c.    Pelepasliaran burung
Keterlibatan masyarakat dalam pelepasliaran burung ikut berperan serta dalam mempengaruhi keanekaragaman burung di Jatimulyo. Pelepasliaran burung telah dilakukan sejak tahun 2017. Kegiatan telah dilakukan 5 kali, mencakup 4 jenis burung. Jenis ini adalah Elang ular bido (Spilornis cheela) 3 individu; Alap-alap sapi (Falco moluccensis) 1 individu; Gelatik Jawa (Lonchura oryzivora) ± 30 individu dan kepudang kuduk-hitam (Oriolus chinensis) 1 individu. Adanya kegiatan pelepasliaran burung, dengan melibatkan masyarakat lokal dapat menjadi bagian dari proses pendidikan lingkungan, terutama tentang burung dan kelestariannya.  

d.    Adopsi sarang burung
Adopsi sarang burung diperkirakan mempunyai andil dalam dinamika keanekaragaman burung di Jatimulyo. Berdasarkan hasil adopsi sarang sampai bulan Juni 2020: 27 sarang burung, dengan 3 kali gagal. Enam jenis burung diadopsi, dengan hasil 43 individu anakan berhasil keluar sarang (Suparno, 2020; Taufiqurrahman, 2020). Kegiatan adopsi sarang burung membantu burung selama masa berkembang biak (breeding season).

Masyarakat lokal melalui KTH Wanapaksi membantu dalam memantau, menandai dan menjaga sarang burung dari pemburu. Keberhasilan 6 jenis burung yang diadopsi, dengan menghasilkan 43 individu anakan tersebut menjadi kontribusi yang nyata bagi kelestarian burung di habitatnya, terutama populasi jenis burung tersebut.

e.    Agen informasi
Masyarakat lokal dapat menjadi agen informasi dan pengetahuan, terutama tentang burung. Sehubungan dengan masyarakat lokal semakin sering berinteraksi dengan berbagai elemen masyarakat: akademisi (dosen, mahasiswa, dan peneliti); fotografer; serta tourist lokal maupun mancanegara, membuatnya menyadari pentingnya melestarikan burung. Berbekal pengetahuan lokal yang dimiliki, dapat menjadi agen informasi dan pengetahuan bagi kalangan yang membutuhkannya, misal: mahasiswa, dosen, peneliti, bird watching tour guide, maupun fotografer. Sebagai contoh: informasi keberadaan sarang burung; durasi masa perkembangbiakan burung; keberadaan jenis tertentu; dan informasi-informasi lain. Berbagai macam informasi dan pengetahuan lokal ini, dapat menjadi ilmu pengetahuan jika dapat didokumentasikan.

Sebagai contoh nyata di Jatimulyo, informasi keberadaan sarang burung, yang kemudian diadopsi, adalah berasal dari masyarakat lokal dengan latar belakang pemburu burung. Pergeseran sikap, pemburu menjadi agen informasi ini secara tidak langsung ikut andil dalam dinamika komunitas burung di Jatimulyo.

Keberhasilan upaya konservasi burung
Indrawan, et al. (2012) dalam Biologi Konservasi menyampaikan, ada dua parameter dalam mengetahui atau mengukur ketercapaian upaya konservasi, dalam hal ini burung. Pertama, dibukanya kesempatan bagi ahli dan praktisi biologi konservasi untuk bekerjasama dengan masyarakat setempat. Kedua, masyarakat setempat yang memiliki struktur stabil, fleksibel, dan memiliki kepemimpinan efektif, didukung badan pemerintahan yang kompeten.

Berdasar dua parameter tersebut, upaya konservasi burung di Jatimulyo dapat dinilai berhasil. Pertama, ditandai dengan terbukanya kesempatan kerjasama dari berbagai ahli dan praktisi biologi konservasi dengan masyarakat. Berbagai ahli ini adalah kerja sama dengan Taman Nasional, BKSDA Yogyakarta, dan IBBS (Indonesian Bird Banding Scheme) LIPI. Praktisi biologi konservasi ini adalah Yayasan Kutilang Indonesia, Kanopi Indonesia, Bisa Indonesia, Raptor Indonesia dan lain-lain. Kerjasama secara terbuka tidak hanya terbatas pada ahli dan praktisi biologi konservasi, namun juga bagi kalangan mahasiswa, serta adanya peluang secara sukarela bagi masyarakat luas untuk berkontribusi dalam pelestarian burung di Jatimulyo.

Kedua, ditandai dengan adanya masyarakat lokal yang memiliki struktur stabil, fleksibel dan memiliki kepemimpinan efektif dalam mengelola upaya konservasi burung. Struktur ini berbentuk komunitas masyarakat. Komunitas ini adalah MPBJ (Masyarakat Pemerhati burung Jatimulyo) yang kemudian melebur menjadi KTH (Kelompok Tani Hutan) Wanapaksi dan KPM (Komunitas Peduli Menoreh). Komunitas masyarakat inilah yang mengawal pelestarian burung di Jatimulyo. Selain adanya komunitas masyarakat, juga didukung dengan badan pemerintah yang kompeten. Dalam hal ini adalah adanya perangkat hukum yang mengatur kelestarian alam di Jatimulyo, dalam bentuk Perdes No. 8/2014.

Selain kedua parameter di atas, tentunya yang jadi pertanyaan berikutnya adalah lalu bagaimana dengan keanekaragaman burung berikut kelestariannya? Berbagai upaya konservasi burung telah dilakukan, melibatkan masyarakat luas, dengan latar belakang yang berbeda-beda, termasuk masyarakat lokal yang menjadi “tuan rumah” bagi burung di Jatimulyo. Nampaknya upaya tersebut dapat dinilai berhasil. Masyarakat Jatimulyo berhasil menjaga kelestarian burung, dan berhasil mewujudkan slogan “Desa Jatimulyo sebagai desa ramah burung”. 

Sebagai bukti, adalah ditemukan 4 jenis burung yang berbeda dengan catatan perjumpaan sebelumnya. Menurut Taufiqurrahman, et al. (2019) di Desa Jatimulyo terdapat 99 jenis burung. Sementara penelitian ini, menemukan 77 jenis burung. Berbeda dari sudut pandang jumlah jenis, dan temuan jenis burung. Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh metode dan rentang waktu pencuplikan data.

Taufiqurrahman, et al. (2019) mencatat berdasarkan perjumpaan sejak tahun 2004. Sementara, penelitian saya menggunakan metode titik hitung (point count) dengan penempatan secara random, dalam kurun waktu ± 4 bulan. Penelitian saya tidak bisa menemukan jumlah jenis yang sama dengan catatan Taufiqurrahman, et al. (2019), namun ada 4 jenis burung tidak tercantum dalam kompilasi catatan tersebut. Jenis ini antara lain adalah: bubut alang-alang (Centropus bengalensis), cabai polos (Dicaeum concolor), gemak tegalan (Turnix sylvaticus) dan kekeb babi (Artamus leucorynchus). Perbedaan jenis ini, diperkirakan sebagai salah satu dampak dari peran serta masyarakat dalam upaya konservasi burung di Jatimulyo. 

Selain itu, berdasarkan informasi dari masyarakat lokal, tingkat intensitas perjumpaan berbagai jenis burung meningkat. Salah satu buktinya adalah ditemukan jenis burung yang belum pernah tercatat sebelumnya, maupun dalam penelitian saya. Jenis ini adalah tikusan ceruling (Rallina fasciata).

Terus terang, banyak hal yang menarik dan berkesan bagi saya selama penelitian. Mulai dari  saat mengenal dari kejauhan, dari dunia maya tentang perkembangan Jatimulyo, yang kemudian membuat saya tertarik untuk mengenal dan mempelajari lebih jauh. Burung-burungnya, berbagi habitat berdampingan dengan masyarakat. Jarang ditemukan di desa-desa lain. Pertemuan demi pertemuan dengan beberapa orang “gila” di balik cerita panjang konservasi burung Jatimulyo, dalam rangka nembung sekaligus wawancara. Nyuwun sewu nggih Mas ini, spontan tidak sesuai prosedur.

Perkenalan dengan orang-orang lokal, dengan berbagai latar belakang, terutama pemandu saya, saat pengambilan data lapangan, pengetahuan tentang konservasi burung, seolah menjadi “pendamping” dalam setiap aktivitas. Kepada setiap orang saat bertemu, menggunakan bahasa lokal, beliau mengenalkan, menyampaikan informasi, dan menyosialisasikan bahwa burung tidak untuk ditangkap, dibiarkan bebas hidup di alam. Saya pikir, ini berkat pergaulan dan rekam jejak interaksinya dengan orang-orang yang memiliki latar belakang pemerhati burung: baik praktisi biologi konservasi, mahasiswa, dosen, peneliti, fotografer, staf KSDA, staf Taman Nasional dan lain-lain. Belum lagi saat bertemu dengan mantan Kades, Pak Anom Sucondro. Beliau yang mengesahkan Perdes no. 8 tahun 2014, sekaligus membumikannya dengan berbagai perangkat yang bisa digunakan.  

Namun, yang paling menarik dan berkesan adalah dapat mendengarkan cerita panjang bagaimana konservasi burung ini dimulai dan dibangun, dari orang-orang  "gila" di baliknya, hingga mampu membentuk kesadaran dalam skala masyarakat luas khususnya di Jatimulyo, bahwa kelestarian alam beserta isinya harus dijaga, salah satunya adalah burung. 

Harapan saya, semoga upaya konservasi burung di Jatimulyo terus berkembang dengan berbagai inovasi, semakin bermanfaat bagi banyak orang, terutama bagi kelestarian burung beserta habitatnya. 

*Foto: Burung Cabai Bunga Api, dok. Kelik Suparno


You May Also Like

0 comments