Belajar konservasi dari praktik agroforestri

by - November 14, 2022


Naskah dan foto oleh: Sidiq Harjanto

Kopi membawa saya pada semesta yang sebelumnya sudah sering saya lihat, tetapi belum sempat saya pelajari maknanya secara mendalam. Di sini, di Jatimulyo – dan di Kawasan Menoreh pada umumnya, kopi tumbuh di antara puluhan jenis tetumbuhan lainnya dalam sebuah sistem tanam yang dikenal sebagai agroforestri, semesta yang saya maksud. Dalam tulisan saya sebelumnya mengenai agroforest Jatimulyo (baca di sini), saya menyebutkan bahwa agroforestri (atau kebun campur) menjadi tumpuan ekonomi bagi masyarakat, sekaligus menjadi sanctuary bagi aneka hidupan liar. Saya masih tertarik untuk terus mengulik nilai-nilai konservasi keanekaragaman hayati dalam praktik agroforestri.

Untuk menggali lebih dalam tentang praktik agroforestri di Jatimulyo, saya pernah membuat sebuah riset kecil-kecilan. Benar-benar kecil-kecilan. Bahkan sejujurnya, tidak layak disebut riset karena belum memenuhi kaidah-kaidah untuk disebut sebuah riset, misalnya dari jumlah responden dan luasan sampling. Singkatnya, saya ingin mengetahui berapa rata-rata jumlah jenis tumbuhan yang mengisi kebun-kebun yang dikelola warga masyarakat. Untuk mendapatkan jawaban, saya mewawancarai beberapa warga petani hutan. 

Lahan yang dikelola warga terdiri dari tegalan dan pekarangan. Tegalan atau talun adalah lahan kering yang bergantung pada air hujan, dan letaknya di luar lingkungan tempat tinggal (rumah). Luas tegalan milik warga Jatimulyo umumnya di bawah satu hektar. Sementara itu, pekarangan adalah lahan di lingkungan sekitar rumah, di Jatimulyo luasnya bervariasi, kisaran 500 – 1000 meter. Baik tegalan maupun pekarangan, statusnya adalah lahan milik masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara, saya mendapati ada sekitar 30-40 jenis tumbuhan yang mengisi lahan tegalan (talun), baik yang sengaja ditanam maupun yang tumbuh liar. Demikian juga di lahan pekarangan, jumlah jenisnya tak jauh berbeda. Angka tersebut terbilang besar, mengingat luasannya tak lebih dari satu hektar dan dikelola oleh satu keluarga saja. Meskipun jumlah jenisnya relatif sama, tetapi perbedaan komposisi jenis tumbuhan di tegalan dan pekarangan tampak cukup nyata. 

Lahan tegalan atau talun umumnya didominasi kayu keras, buah-buahan, dan rempah-rempah. Sementara itu, pengisi pekarangan terdiri dari tanaman pangan, tanaman obat (jamu), dan tanaman estetik. Hijauan makanan ternak (HMT) ditanam baik di pekarangan maupun di talun. Namun, pemanfaatannya berdasarkan keterdesakan. HMT di pekarangan hanya dipanen pada saat-saat darurat, misalnya bila cuaca sedang kurang bersahabat seperti hujan deras, atau sedang ada kerepotan yang membuat petani tidak bisa merumput ke talun.

Saya pikir hasil wawancara dengan beberapa petani hutan di atas sejalan dengan hasil penelitian Hadi dkk. (2016) yang menemukan 41 jenis tumbuhan bawah di tegalan dan pekarangan pada sistem agroforestri Perbukitan Menoreh. Kebetulan, salah satu lokasi kajiannya ada di Jatimulyo. Penelitian tersebut juga mencacat bahwa sebagian dari jenis tumbuhan pengisi lahan dimanfaatkan sebagai obat-obatan, pangan, bumbu, dan kebutuhan ritual. Khusus untuk tumbuhan bawah, menurut penelitian tersebut, jumlah jenis di pekarangan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jenis di tegalan.

Masyarakat di perdesaan telah akrab dengan keanekaragaman hayati dalam berbagai sendi kehidupan. Dalam hal pangan misalnya, orang desa umumnya memiliki pilihan pangan keseharian yang lebih beragam dibandingkan masyarakat perkotaan. Sebagai sumber karbohidrat alternatif, di kebun-kebun warga bisa dijumpai aneka umbi-umbian seperti: uwi (Dioscorea alata), gembili (D. esculenta), suweg (Amorphophallus paeoniifolius), ganyong (Canna discolor), dll. 

Sayur-mayur yang mereka punya juga sangat beragam, mulai dari sintrong (Crassocephalum crepidioides), pegagan (Centella asiatica), krokot (Portulaca sp), dan aneka pakis hutan yang tumbuh liar begitu saja di lahan. Sebagai masyarakat tropis, kita memang ditakdirkan hidup dengan berbagai sumber pangan. Jadi, bisa dikatakan orang desa sebenarnya telah mengapresiasi keanekaragaman hayati melalui praktik pangan mereka.

Gadung (Dioscorea hispida)

Adaptasi masyarakat perdesaan terhadap keanekaragaman hayati dalam perspektif pangan bisa dilihat dari keahlian mengenali dan mengolah jenis-jenis tumbuhan pangan, baik yang tumbuh liar maupun yang sengaja dibudidaya. Mereka bahkan bisa mengolah tumbuhan beracun menjadi bahan pangan. Contohnya pengolahan umbi gadung (Dioscorea hispida). Umbi ini sangat beracun karena mengandung sianida dan suatu enzim bernama dioscorin. Dengan keterampilan khusus, masyarakat perdesaan mampu mengolah umbi ini menjadi keripik ataupun tepung yang aman dikonsumsi dan lezat pula. Contoh lainnya adalah pucung atau kepayang (Pangium edule) yang biji beracunnya bisa diolah menjadi kluwek yang terkenal sebagai bumbu utama rawon dan brongkos.

Kembali kepada pengelolaan lahan dengan keanekaragaman tumbuhan pengisi, tradisi unik tidak terbatas pada aspek pangan. Di Jatimulyo, saya menjumpai bunga-bunga lazim ditanam di halaman rumah atau pekarangan. Jenis-jenisnya antara lain: mawar, melati, kenanga, dan kantil. Satu keluarga jarang memiliki kesemuanya, paling-paling hanya satu atau dua jenis saja. Selain memberi kesan estetik, bunga lazim digunakan dalam adat atau tradisi jawa. Sebutannya "kembang tujuh rupa," terdiri dari tujuh jenis bunga. Demikian pula di Jatimulyo, bunga digunakan dalam berbagai keperluan adat.

Saya melihat relasi antarkeluarga yang unik dalam pemanfaatan bunga-bungaan tersebut. Satu keluarga memang tidak pernah memiliki semua jenis bunga. Namun, mereka bisa mencukupi kekurangannya dari pekarangan milik para tetangga. Ternyata, mereka menanam tidak semata-mata untuk keperluan sendiri, tetapi juga untuk warga lain. Artinya, pekarangan yang ditanami bunga-bunga itu telah menjelma menjadi simpul budaya karena ada relasi sosial yang khas di sana. Umumnya, relasi ini tidak bersifat transaksional alias tidak ada jual-beli dalam pemanfaatan aneka jenis bunga untuk keperluan adat dan budaya. Siapa yang butuh, boleh memetik.

Pola-pola pemanfaatan keanekaragaman hayati oleh masyarakat perdesaan sebagian besar dilakukan secara subsisten sehingga kelestariannya tetap terjaga. Menanam atau membudidaya tidak semata-mata termotivasi secara ekonomi, atau dengan kata lain tidak mesti untuk dijual dalam rangka mendapatkan uang. Menanam bisa untuk menyediakan bagi siapa saja yang membutuhkan, tanpa mesti ada kegiatan transaksi jual-beli. Desa telah memberikan contoh pengelolaan keanekaragaman hayati melalui praktik-praktik keseharian, dalam berbagai sendi kehidupan masyarakatnya. 

Agroforestri bisa dijumpai di banyak tempat di Indonesia. Bisa dibilang, agroforestri merupakan karya jenius para leluhur kita, bukti bahwa mereka memiliki kesadaran konservasi keanekaragaman hayati. Sebidang lahan sempit saja mampu menampung puluhan jenis tumbuhan. Kita belum menghitung berapa banyak jenis serangga yang bisa hidup di dalamnya, berapa jenis mikrobia yang turut menyuburkan tanah, atau berapa jenis burung yang mengunjungi lahan itu. Lebih dari sekadar praktik pengelolaan lahan pertanian, para petani agroforest telah berada pada level budaya merawat ekosistem tropis.

Selanjutnya, tantangan bagi bangsa Indonesia adalah untuk mengembangkan aneka potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki untuk masa depan pangan, obat-obatan, maupun kebutuhan lainnya dengan cara-cara yang berkelanjutan. Keanekaragaman hayati lah masa depan kita di tengah persaingan bangsa-bangsa. Dengan mengelolanya secara cerdas, kita tidak akan tergilas. 

 

Ref:

Hadi, E. E. W., Widyastuti, S. M., and Wahyuono, S. 2016. Keanekaragaman dan Pemanfaatan Tumbuhan Bawah Pada Sistem Agroforestri di Perbukitan Menoreh, Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Manusia dan Lingkungan 23(2): 206-214.



You May Also Like

0 comments