Selamat Hari Kopi Nasional

by - March 13, 2023

Penulis: Sidiq Harjanto


Tanggal 11 Maret kemarin diperingati sebagai Hari Kopi Nasional. Perayaan ini telah dimulai sejak tahun 2019, setelah satu tahun sebelumnya ada momentum pengukuhan Dewan Kopi Indonesia (Dekopi), tepatnya pada 11 Maret 2018. Dekopi dibentuk dalam kerangka mempopulerkan kopi sebagai komoditi unggulan, dan memajukan industrinya. 

Indonesia saat ini berada pada posisi ke empat negara-negara penghasil kopi terbesar di dunia, setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Menurut data yang dirilis BPS, pada tahun 2022 produksi kopi Indonesia meningkat sebesar 1,10 % menjadi 794.800 ton, setelah sebelumnya 786.191 ton pada tahun 2021.

Kabupaten Kulonprogo, sebagai salah satu penghasil kopi di lingkup Daerah Istimewa Yogyakarta, menyumbang kopi robusta sebanyak 434 ton dan arabika sebanyak 5 ton (Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2020 - 2022). Jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan produksi nasional. Namun, tentu saja jumlah produksi kopi tidak bisa dijadikan sebagai parameter satu-satunya dalam melihat potensi kopi suatu daerah. Kita perlu mencermati berbagai faktor, termasuk luasan lahan yang tersedia, dan metode pembudidayaannya.

Kopi di Kulonprogo tersebar di Pegunungan Menoreh yang sudah ditanami kopi sejak jaman kolonial. Jenisnya didominasi robusta. Para petani kopi robusta, yang menurut data terbitan Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2020), jumlahnya mencapai 5.297 orang, membudidayakan kopi ini di lahan milik, dengan metode pembudidayaan berbasis wanatani. Artinya, kopi tumbuh di antara beragam jenis tanaman komoditi lainnya, seperti: cengkeh, pala, kakao, dan aneka buah. Pola pembudidayaan seperti ini merupakan adaptasi dari luasan lahan yang terbatas.

Geliat produksi kopi di Kulonprogo juga bisa dilihat dari munculnya produsen-produsen kopi lokal yang menghasilkan kopi siap konsumsi. Warung-warung kopi yang menyajikan seduhan kopi lokal, tak ketinggalan, ikut menjamur. Tumbuhnya pariwisata di Pegunungan Menoreh turut memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan bisnis ini.

Ada beberapa isu yang bisa diangkat dalam konteks produksi kopi di Indonesia. Pertama, pembudidayaan. Saya tidak akan menyinggung masalah teknik penanaman dan perawatan tanaman kopi karena sudah banyak informasi mengenai hal ini. Saya malah akan menyoroti mengenai optimalisasi peran keanekaragaman hayati dalam produksi kopi. Sesuatu yang tampaknya relatif jarang diangkat.
 

Burung dan lebah untuk kopi 

Burung dan lebah menjadi dua kelompok fauna yang, menurut banyak penelitian, memiliki peran penting dalam pertanian, termasuk kopi. Banyak jenis burung memangsa serangga, sehingga pada gilirannya berperan dalam mengontrol populasi yang bisa saja merusak komoditi jika populasinya meledak. Lebah, sebagai pemanen nektar dan serbuk sari, telah diyakini menjadi agen penyerbuk yang handal.

Burung sulingan di pohon kopi.

Lalu, bagaimana mengoptimalkan peran kedua kelompok fauna bermanfaat tadi dalam mendukung produktivitas kebun-kebun kopi kita? Jatimulyo sebagai salah satu desa di Menoreh telah menjadi pionir dalam mengusung ‘desa ramah burung’. Semua jenis burung dilindungi di desa ini. Segala bentuk perburuan dilarang melalui terbitnya Peraturan Desa. Burung-burung liar dipertahankan manfaat ekologisnya dengan cara membiarkan mereka hidup bebas di kebun-kebun warga. 

Secara teknis, mengoptimalkan peran burung tidak cukup hanya dengan melindunginya dari perburuan. Burung membutuhkan relung habitat yang cocok. Kebun-kebun produksi juga mesti menarik burung untuk singgah. Model tanam tumpang sari atau wanatani ala masyarakat Menoreh bisa menjadi pilihan dalam mempertahankan habitat bagi burung-burung liar. Dengan variasi jenis tumbuhan pengisi dan variasi strata vegetasi, meningkatkan peluang bagi burung untuk mencari pakan dan bahkan bersarang. Meskipun demikian, masih perlu banyak riset spesifik untuk terus mengoptimalkan jasa ekologi burung bagi pertanian kita.

Lebah, kelompok serangga ini sering sekali kita dengar, namun faktanya kurang dikenal sebagai sebuah ‘keluarga’ besar. Kebanyakan orang hanya mengenal lebah sebagai serangga bersengat yang biasa dibudidaya sebagai penghasil madu. Padahal, jenis lebah sangatlah banyak. Selain lebah penghasil madu yang umum dikenal, masih ada lebah nirsengit atau dikenal sebagai klanceng. Jumlah jenisnya di Indonesia tak kurang 40 spesies. Belum lagi, kelompok lebah soliter yang jumlah jenisnya jauh lebih banyak. Apa itu lebah soliter? Sederhananya, lebah soliter adalah lebah yang hidupnya sendirian, tidak berkoloni sebagaimana lebah madu dan klanceng.

Mengoptimalkan jenis-jenis lebah sebagai agen penyerbuk tanaman komoditi, termasuk kopi, bisa dilakukan dengan menjaga habitat sehingga mereka memiliki ruang hidup. Bisa juga dengan cara mengintegrasikan budidaya lebah penghasil madu dalam pengelolaan lahan pertanian kita. Tantangannya adalah bagaimana melakukan praktik pertanian yang minim insektisida, atau bahkan sama sekali tidak menggunakan insektisida, namun serangan hama tetap bisa dikendalikan. Lagi-lagi, kita masih perlu mendorong riset-riset yang mampu memberikan rekomendasi yang lebih aplikatif.
 

Perbaikan pengolahan pascapanen

Isu kedua yang hendak saya soroti dalam produksi kopi di Indonesia adalah pascapanen. Buah kopi yang dihasilkan melalui pembudidayaan yang sangat bagus sekalipun, bisa menjadi biji kopi jelek jika proses pascapanennya jelek. Pengolahan pascapanen sendiri pada prinsipnya ada 3 metode: kering buah (natural), kupas madu (honey), dan kupas cuci (washed). Dari ketiga metode dasar tersebut kemudian berkembang metode-metode turunan lain yang terus berkembang menghasilkan kopi-kopi eksperimental dengan cita rasa yang biasanya mampu menawarkan pengalaman yang unik.

Pada konteks pascapanen, kita perlu membagikan metode-metode yang bisa menjamin kopi yang dihasilkan memiliki cita rasa yang unggul kepada khalayak. Dibutuhkan prosesor-prosesor yang dari gudang-gudang mereka keluar kopi-kopi dengan cita rasa unggul. Prosesor adalah sebutan bagi mereka yang mengolah buah kopi yang dipanen dari kebun menjadi kopi beras (green bean). Sekali lagi, kopi yang pada dasarnya dihasilkan dari pembudidayaan yang baik, belum tentu enak jika tidak diolah dengan baik. Di sini, peran prosesor sangat menentukan.

Pengeringan kopi pada proses honey.

Pengembangan metode pengolahan pascapanen melalui eksperimen-eksperimen bisa membuka ruang bagi para prosesor untuk berinovasi dalam memperluas spektrum pengalaman rasa bagi para penikmatnya. Saya ingat, beberapa tahun lalu, kami mencoba melakukan uji coba prosesing kopi arabika dari ketinggian di bawah 1.000 mdpl dengan metode tertentu dan hasilnya bisa menghasilkan cita rasa yang cukup menarik.
 

Penguatan nilai dan budaya kopi.

Kopi sebagai sebuah komoditi bukan satu-satunya peluang ekonomi yang bisa dijual. Banyak para penikmat kopi yang menginginkan pengalaman mengunjungi kebun, ikut memproses kopi dari kebun, atau pengalaman menyangrai kopi. Pada titik ini, pengalaman-pengalaman itu bisa ditawarkan dalam kemasan wisata yang pada gilirannya bisa menumbuhkan peluang ekonomi baru bagi pelaku usaha kopi baik di hulu (kebun), maupun di hilir (industri pengolahan).

Terakhir, tentang budaya konsumsi kopi. Indonesia sendiri, saat ini tampaknya sedang mengalami pertumbuhan budaya minum kopi. Hal ini bisa dilihat dari tumbuhnya kedai-kedai kopi, bahkan di kota-kota kecil. Kedai kopi tak lagi sekadar tempat minum biasa, namun mampu menjadi melting pot bagi orang-orang untuk berdiskusi dan membicarakan banyak hal. Kalau kopi bisa membuat orang lebih produktif dengan aneka gagasan yang muncul di kedai-kedai kopi ataupun di teras-teras rumah, maka tak salah kiranya jika kita terus berikhtiar memperkenalkan minuman ini kepada masyarakat luas.

You May Also Like

0 comments